ILMU DAKWAH

 Berkaitan dengan misi Islam sebagai agama yang universal dan ditujukan kepada seluruh ummat manusia tanpa terkecuali dan memandang ras atau keturunan, sehingga dalam proses penyampaian tersebut dapat berjalan dengan lancar; begitu juga sebaliknya, menemui hambatan-hambatan dan batu sandungan yang dapat menghambat dan mengganggu proses penyampaian dakwah tersebut. Hambatan dan gangguan itu dapat bersifat biogenetis yaitu gangguan yang terutama dari manusia baik subyek maupun obyeknya. Dan gangguan yang bersifat sosiogenetis yaitu gangguan yang bersumber dari lingkungan dan latar belakang mad’u. Di samping itu ada juga gangguan yang bersifat teknis yaitu gangguan yang berkaitan dengan media meskipun kurang jelasnya pesan/materi dan gangguan psikologis, sehingga dapat menjadikan kesalahpahaman bagi obyek dakwah. 

Adapun yang berkaitan dengan tanggapan mad’u terhadap rangsangan, stimulus, motivasi dari da’i adakalanya memberikan tanggapan yang bersifat positif, sehinggga terjadi interaksi yang intent dan harmonisasi dialogis, sehingga dapat menimbulkan perubahan sikap dan pandangan yang akhirnya dapat menimbulkan perubahan sikap dan pandangan yang akhirnya mau mengimani, menjalankan dan bahkan memperjuangkan Islam. Tanggapan dan penerimaan tersebut adakalanya bersifat negatif sehingga perlu pengkajian ulang dari pelaksana dakwah (da’i) terhadap sasaran yang dihadapi.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apakah yang dimaksud dengan ilmu dakwah dalam kajian ontologi?
  2. Apa sajakah yang menjadi obyek kajian ilmu dakwah?
  3. Bagaimanakah karakteristik manusia?
  4. Bagaimanakah keterkaitan interaksi Tuhan, manusia dan alam?
  5. Apakah yang dimaksud dengan Islam? dan,
  6. Makna apakah yang terkandung dalam kata nubuwwah dan risalah?





C.    Tujuan Penulisan
1.      Mahasiswa mampu memahami apa yang dimaksud dengan ilmu dakwah secara ontologi.
2.      Mahasiswa mengetahui apa yang menjadi obyek kajian ilmu dakwah.
3.      Mahasiswa memahami karakteristik manusia.
4.      Mahasiswa memahami keterkaitan interaksi antara Tuhan, manusia dan alam.
5.      Mahasiswa mamahami arti Islam secara mendalam, dan
6.      Mahasiswa mampu memahami makna yang terkandung pada kata nubuwwah dan risalah.

























BAB II
PEMBAHASAN

Ontologi Ilmu Dakwah
Dalam tataran filsafat, ontologi merupakan sebuah cabang filsafat yang berdiri sendiri dan berusaha mengungkap ciri-ciri segala yang ada, baik ciri-cirinya yang universal maupun yang khas.   Namun, kajian ontologi juga tidak sebatas mengkaji “yang ada” (being), tetapi juga menyangkut penjelasan sifat-sifat obyek, dan hubungannya dengan subyek (perceiver atau knower), sehingga pada tataran tertentu mempertanyakan tentang realitas obyektif (objective reality). Pada sisi lain, dalam pandangan Herman Suwardi (1996), ontology merupakan akar dari ilmu atau sains atau dasar dari kehidupan sains, yang mempelajari hal-hal yang bersifat abstrak. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu.
Kemudian, di antara kerja dalam rangka menelaah apa yang hendak diketahui sebagai bagian dari kajian untuk membangun landasan ontologism ilmu dakwah maka sewajarnya dimulai dari pemahaman tentang ke-apa-an dakwah itu sendiri yang menjadi bagian dari kajian filsafat dakwah. Untuk itu, agar pembahasan ilmu dakwah dapat dilakukan secara benar, kita harus tahu terlebih dulu melakukan pengkajian tentang apa yang akan dibicarakan, sehingga menjadi jelas makna hakiki dakwah yang kemudian dijadikan sebagai titik pijak dalam membangun landasan ontologis ilmu dakwah. Kajian mengenai hal ini tentunya tidak akan banyak dibahas di sini karena membutuhkan ruang dan kajian yang banyak dan dikhawatirkan akan mengkaburkan kajian utamanya, yaitu ilmu dakwah.

1.      Obyek Kajian Ilmu Dakwah
Sebelum obyek kajian ilmu dakwah jauh melangkah, sebuah pendapat tentang dakwah akan dikemukakan oleh Ismail al-Faruqi yang dimuat dalam salah satu karyanya, yakni; Dakwah berpihak kepada kebenaran yang dalam mencapai tujuannya tak lebih dari sekadar menumbuhkan pembenaran atas kebenaran yang timbul secara sadar, sukarela, tanpa paksaan, dan lain-lain.
Sehingga implikasinya terhadap kegiatan dakwah, menurutnya adalah suatu bentuk usaha dalam berpikir, berdebat atau menyanggah. Ia merupakan produk paling akhir dari proses kritis intelektual. Sehingga isi dakwah tidak sekadar apa yang diketahui dan disajikan. Isi dakwah adalah kebenaran yang diterima secara tulus dan pembenarannya yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan atas beberapa alternatif.  Isi dakwah diperbandingkan dengan sesuatu yang kontras, menyolok, dan dilakukan pengujian konsistensi ke dalam diri konsistensi umum dengan seluruh pengetahuan yang lain dan pengujian mengenai hubungan dengan kenyataan.
Berdasarkan firman Allah SWT:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); tetapkanlah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. 30:30).
Kita dapat memahami sebuah pemikiran bahwa hakekat dakwah adalah mengajak manusia kembali kepada hakikat fitri yang tidak lain adalah jalan Allah serta mengajak manusia untuk kembali kepada fungsi dan tujuan hakiki keberadaannya dalam bentuk mengimani ajaran kebenaran dan mentransformasikan iman menjadi amal shaleh.
Merujuk pada deskripsi di atas, ilmu dakwah pada hakikatnya adalah ilmu yang menyadarkan dan mengembalikan manusia pada fitrahnya, pada fungsi dan tujuan hidup manusia menurut islam. Maka, ilmu dakwah adalah ilmu transformatif untuk mewujudkan ajaran yang bersifat fitri (Islam) menjadi tataran Khairu al–Ummah atau mewujudkan iman menjadi amal shaleh kolektif yang tumbuh dari kesadaran intelektual yang sepenuhnya berpihak kepada kemanusiaan.
Selanjutnya, kita mendapati dua bagian dalam mengkaji obyek ilmu dakwah. Yakni, obyek material ilmu dakwah dan obyek forma ilmu dakwah.
Menurut Cik Hasan Bisri, obyek material ilmu dakwah adalah unsur substansial ilmu dakwah yang terdiri dari enam komponen, yaitu da’i, mad’u, metode, materi, media dan tujuan dakwah. Sedangkan obyek forma ilmu dakwah adalah sudut pandang tertentu yang dikaji dalam disisplin utama ilmu dakwah, yaitu disiplin tabligh.
Namun, Amrullah Achmad berpendapat lain, obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah), hasil ijtihad dan realisasinya dalam sistem pengetahuan, teknologi, sosial, hukum dan lainnya, khususnya kelembagaan Islam. Sedangkan obyek formanya adalah kegiatan mengajak ummat manusia supaya kembali kepada fitrahnya sebagai muslim dalam seluruh aspek kehidupannya. Dan obyek forma itulah yang membedakan ilmu dakwah dengan ilmu keislaman lainnya.




2.      Karakteristik Manusia
Manusia adalah sesuatu yang nyata ada, oleh karena itu tentu dapat dipahami adanya eksistensi manusiawi di samping sisi organik dari segi materialnya. Menurut The Liang Gie terdapat empat unsur yang terkandung dalam eksistensi manusiawi berdasarkan empat filosof yang sama pendapatnya. Keempat unsur tersebut adalah seni, kepercayaan, filsafat dan ilmu.
Keempat unsur itu saling berinteraksi. Interaksi antar unsur-unsur eksistensi manusiawi itu telah melahirkan cara berada manusia yang unik dan berbeda dibandingkan dengan keberadaan yang lain dari jenis makhluk yang ada. Namun, kompleksitas eksistensi manusia dan keterbatasan akal manusia merupakan faktor-faktor yang memustahilkan bagi manusia itu sendiri memperoleh pengetahuan secara tuntas tentang dirinya dari dalam dirinya. Dalam persoalan ini, menurut Quraish Shihab, dibutuhkan informasi dari Sang Maha Pencipta melalui wahyu yang diturunkan kepada utusan-Nya, seperti Al-Qur’an. Dari Al-Qur’an, sesuai maksud penurunannya sebagai memberi petunjuk, informasi yang diberikan bersifat normatif. Al-Qur’an secara seimbang menggambarkan manusia dari dua sisinya yang positif dan negatif .
Dalam penggambaran itu, Al-Qur’an tentu saja secara normatif mendorong manusia untuk bergerak pada sisi positif  dan menjauhi serta menghindari sisi negatif, yang dengan hal itu manusia akan berada pada suatu alam yang hidup, bermakna, serba tak terbatas, yang dimensinya keluar melampaui dimensi material.

3.      Interaksi Tuhan, Manusia dan Alam
Menurut Al-Qur’an, keberadaan alam semesta diciptakan oleh Tuhan seperti dapat dipahami dari ayat berikut:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?” (Q.S. 71:51).
Dan dalam kaitannya, Allah selalu menetapkan ketentuan-ketentuan bagi setiap ciptaan-Nya, sesuai dengan ayat berikut:
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran”. (Q.S. 15:19)
Ketentuan-ketentuan Allah untuk setiap ciptaan-Nya itu dikenal dengan Sunnatullah, yaitu suatu konsep yang dikembangkan aliran teologi Mu’tazilah ketika menjelaskan kekuasaan Tuhan yang dibatasi oleh kebebasan manusia. Menurut Mu’tazilah, alam berjalan secara teratur didasarkan pada hukum alam yang diciptakan Tuhan. Pendapat itu berlainan dengan pemikiran yang dikembangkan aliran Asy’ariyah yang dalam melihat keteraturan alam menekankan pada kehendak Tuhan. Bahwasanya, Tuhan hadir secara terus-menerus dan aktif dalam segala sesuatu. Jika tanpa kehadiran-Nya, maka dunia akan dilanda ketidakteraturan. Dengan demikian, dalam khazanah pemikiran Islam, sedikitnya dikenal dua pendapat mengenai persoalan cara Tuhan “berinteraksi” dengan alam semesta atau khususnya manusia. Pertama pemikiran Mu’tazilah yang menekankan transendensi Tuhan dalam kaitannya dengan alam semesta dan Asy’ariyah yang menekankan fungsi immanent Tuhan dalam alam semesta.
Manusia diberi kesadaran moral untuk menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk sesuai dengan fitrah manusia. Namun, sifat-sifat neagatif atau kecenderungan untuk berperilaku negatif itu sering pula masih mempengaruhi cara manusia berbakti kepada tuhan. Manusia cenderung melakukan ketundukan kepada Tuhan secara sungguh-sungguh ketika tertimpa musibah dan sebaliknya ketika manusia mendapat kenikmatan atau anugerah, mereka cenderung melupakan Tuhan.
Manusia dalam menjalani hidupnya di dunia selalu bergulat dengan dua kecenderungan positif dan negatif itu. Apabila ia bias mengatasi konflik yang ditimbulkan oleh tarikan kedua kecenderungan yang berlawanan itu dan kembali pada sifat-sifat dasar fitrahnya maka dialah da’i. Sebaliknya, jika ia tidak dapat mengatasi  konflik itu, dalam arti jatuh ke dalam kecenderungan negatif dan tidak dapat mengaktualkan sifat-sifat dasar fitrahnya, maka dialah mad’u. Keberadaan manusia dengan segala potensi yang dimilkinya, telah dipilih oleh Tuhan untuk mengelola alam semesta. Manusia merupakan pusat interaksi alam semesta di muka bumi. Ia adalah makhluk yang mulia dan dimulyakan Tuhan.
Dan manusia muslim di hadapan manusia pada umumnya diangkat sebagai saksi yang harus menjaga interaksi positif kepada Tuhan, sesamanya dan alam semesta. Dalam mengatur interaksi itu, Al-Qur’an menggariskan aturan-aturan normatifnya antara lain dalam symbol perdagangan. Dengan merujuk pada term-term yang lazim dipakai dalam dunia perdagangan, bagaimana Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada manusia dalam berinteraksi dengan Tuhan sebagai pencipta dan penguasa alam semesta, dapat diketemukan.







4.      Pengertian Islam
Secara harfiah, Islam bentuk lain dari terma aslama merujuk pada sebuah ayat dari surat ke-2:112 yang berarti “menyerahkan diri/jiwa kepada..”. Atau juga berarti “mentaati dengan tulus hati/mengikhlaskan kepada kebenaran” pada surat 72:14. Terma Islam seakar dengan dengan terma salima yang artinya “selamat dari…” dan salam yang berarti “sejahtera, kesejahteraan, tempat sejahtera”. Huruf-huruf dasar terma Islam adalah sin-lam-mim, artinya “aman”, “keseluruhan” dan “menyeluruh”. Terma silm berarti “perdamaian”. Sedangkan terma salam berarti “penuh/keseluruhan ” atau “perdamaian” juga tercantum dalam surat 39:29 dan 4:91.
Dengan memperhatikan beberapa maknanya itu, maka dapat dikemukakan bahwa, Islam menuntut penyerahan diri kepada Tuhan . Dengan itu, seseorang akan mampu mengembangkan seluruh kepribadiannya secara menyeluruh dan oleh karenanya, ia akan dapat meraih keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian.
Pemakaian term Islam untuk nama sebuah agama, menuntut adanya aturan-aturan formal sebagai predikat sehingga dapat diidentifikasi perilaku tertentu mana dan sikap jiwa tertentu mana yang mencerminkan aktualisasi agama Islam dan bukan merupakan pencerminan darinya.
Sebelum menjadi nama untuk keyakinan dan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw, Islam diyakini oleh ummat Islam sebagai keyakinan dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Nabi Muhammad diyakini tidak membawa ajaran agama baru, karena pada dasarnya agama Islam yang dibawanya adalah juga ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan bahkan juga Nabi dan Rasul sebelumnya.
Berpijak pada uraian di atas, kita dapat memahami analisis bahwa Islam terbagi dua: yaitu Islam predikatif dan Islam essensial. Keduanya secara analisis dapat dibedakan tetapi secara faktual keduanya tak terpisahkan. Kesemestaan Islam tidak hanya terletak pada “predikatnya”, melainkan juga “essensialnya”. Esensi inilah yang mengangkat Islam  dalam suatu “sistem nilai”, yang memberi nafas pada budaya dan peradaban manusia. Secara predikatif, senua bentuk aturan dan norma tidak dibenarkan, kecuali yang telah digariskan dalam sumber pokok ajaran Islam. Jadi, Islam predikatif adalah “sebutan agama Islam”. Sedangkan Islam essensial adalah Islam intisari. Orang yang menegakkan Islam predikatif seharusnya juga ber-Islam essensial karena keduanya terpisahkan hanya pada tingkat analisis sedang dalam kenyataannya, secara faktual adalah menyatu dalam satu penghayatan dan pengamalan.
Jika diklasifikasikan, Islam dipahami dalam dua kecenderungan yang berbeda. Ummat Islam cenderung mengkaji Islam dalam pengertiannya yang ideal, Islam konsep, atau Islam interpretasi. Sementara kalangan lain yang kebetulan bukan pengikut Nabi Muhammad saw cenderung mengkaji Islam sebagaimana tampil dalam kenyataan hidup manusia, seperti Islam historis

5.      Nubuwwah dan Risalah
Nubuwwah dan risalah adalah konsep sebagai hasil pemikiran yang berusaha memahami kemungkinan (ketakmustahilan) adanya kontak antara yang supranatural dan natural. Dalam konteks pembahasan ini, kontak antara supranatural dan natural menunjuk pada kemungkinan dan ketakmustahilan adanya petunjuk Tuhan yang diturunkan kepada manusia, yaitu agama.
Adapun tantangan yang dihadapi manusia adalah faktor pendorong manusia memerlukan agama, baik tantangan dari dalam maupun dari luar. Tantangan manusia dari dalam misalnya pada situasi konflik yang ditimbulkan oleh tarik menarik antara sifat-sifat positif dan negatif yang selalu terjadi pada diri manusia dan dorongan hawa nafsu dan bisikan setan dari dalam diri manusia, seperti dapat dipahami pada ayat berikut:
“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyeluruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. 12:53).
Tantangan dari luar misalnya berupa tipu daya orang kafir atau rekayasa negatif yang dilakukan oleh orang yang tidak menempatkan diri sebagai khalifah Allah sebagaimana tercantum dalam ayat berikut:
”Orang-orang kafir itu membuat tipu daya. Dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Q.S. 3:54).
Dengan uraian di atas, maka mudah untuk mengatakan bahwa manusia secara eksistensial memerlukan agama. Agama mengemas siapa saja yang berkomunikasi dengan Tuhan, dalam Al-Qur’an disebutkan bukan hanya Nabi Muhammad. Komunikasi itu juga bisa terjadi dengan manusia pada umumnya dan makhluk lainnya. Allah berkomunikasi dengan lebah untuk mencari rumah sendiri,
Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat yang dibikin manusia.” (Q.S. 16:68)
Dengan demikian ada nash dari Al-Qur’an, ketika dikembangkan pemikiran bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saja terjadi kontak. Hal itu disebut sebagai nubuwwah jika kontak itu terjadi antara Tuhan dan Nabi atau Rasul dan diistilahkan dengan kewalian jika kotak itu antara Tuhan dan manusia pada umumnya yang telah mencapai tingkat spiritual tertentu.
Dan dengan kekuasaan yang diberikan Tuhan kepada Nabi dan Rasul untuk mendakwahkan ajaran Tuhan, maka ummat manusia mempunyai pegangan yang kokoh ajaran mana yang dapat dijadikan pedoman. Kebutuhan manusia kepada kehadiran Nabi dan Rasul relatif sejajar kebutuhannya dengan dakwah. Karena, bagaimanapun sempurna dan cerdasnya akal manusia, ia dapat saja dipengaruhi oleh kecenderungan sifat-sifat negatif yang ada padanya. Hal yang negatif itu dapat dihindarkan aktualisasinya dalam bentuk-bentuknya yang negatif, yang merugikan dan mencelakakan manusia yang berislam.
























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan, terdapat poin-poin penting yang menjadi dasar bagi sempurnanya kajian ilmu tentang dakwah. Di dalamnya dikaji ilmu dakwah secara ontologis yang lebih mengarah ke sudut pandang akar pengkajian sesuatu yang bersifat abstrak. Dari kajian ontologis melahirkan obyek kajian ilmu dakwah yang melirik aspek-aspek ajaran Islam dengan pengaktualisasiannya terhadap struktur tatanan kehidupan masyarakat.
Karakteristik manusia merupakan sebuah kajian dalam mempelajari manusia secara mendasar dan internal. Interkasi Tuhan, manusia dan alam adalah suatu struktur korelasi yang mutlak hadir dan terjadi dalam ruang kehidupan yang dikemas dalam bingkai ajaran Islam secara essensial dan predikatif. Nubuwwah dan Risalah menginterpretasikan akan adanya kontak antara supranatural dan natural yang menunjuk tentang keberadaan agama sebagai kebutuhan bagi manusia.

B.     Saran
Dengan hadirnya makalah ini, Penulis menyarankan kepada siapapun yang membaca dan mengkaji makalah ini mampu menjadikannya sebagai referensi aplikatif dakwah dan mengembangkannya atau melengkapi apa-apa yang menjadi kekurangan dalam makalah ini.













DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah.
AS, Enjang dan Aliyudin. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran.
Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu Dakwah. Semarang: Pustaka Pelajar.
K, Dewi. 2008. Contoh Makalah. http://yudhim.blogspot.com.


0 comments:

Posting Komentar