Filosof muslim timur di awal

Al- Kindi (800-870 M)
a. Riwayat Hidup
Abu yusuf ya’qub b. is’haq al- Kindi (800-870 M) adalah satu-satunya orang arab asli diantara para filsafat; karenanya, dia bergelar “ al-faylasuf al-Arab”. Ia lahir di kufa dimana ayahnya menjabat wali propinsi. Dia belajar di Basra dan Baghdad dimana dia dapat bergaul dengan ahli pikir terkenal. Ia diundang oleh khalifah al ma’mun untuk mengajar pada baitu’l hikmah dan mengasuh ahmad putra khalifah almutashim. Ibn nubatah mengatakan dalam bukunya yang berjudul Sarhul-‘uyun: “Kerajaan al-Mu’tashim diperindah oleh Al Kindi dengan buku-buku yang ditulisnya”. Nama Al Kindi terus marak hingga zaman khalifah al mutawakkil. Pada zaman inilah ia menjadi sasaran intrik dan fitnah dari mereka yang iri hati, sampai ia dijatuhi hukuman oleh al-Mutawakkil dan perpustakaannya yang terkenal dengan nama al-Kindiyyah disita kemudian dijadikan milik al-Mutawakkil. Al kindi mengusahakan penterjemahan 260 buku yunani dan menunjukkan keahliannya dalam bidang ilmu falak, pasti, ketabiban, musik, kimia dan astrologis. Menurut al fihrist ia mengarang lebih dari dua ratus buku dan risalah.

Al kindi adalah seorang yang mula-mula mengupas filsafat yunani dari tinjauan pendirian islam, sehingga pengetahuan ini dapat diterima oleh kaum muslimin dalam masa pemerintahan ma’mun pada akhir abad yang ke dua hijriyah. Bahkan Al Kindi merupakan salah satu tiang yang turut mendirikan zaman keemasan islam yang gilang gemilang. Dimana kemerdekan berfikir dapat dirasakan oleh seluruh umat islam dan dimana kemajuan ilmu pengetahuan mulai mekar dan meluas bersamaan dengan meluasnya dakwah islam serta daerah ummatnya. Al Kindi adalah filosof yang mencerminkan peradaban islam yang mencapai puncak perkembangannya pada zaman daulat “Abbasiyyah. Pada masa itu kehidupan masyarakat sudah demikian tertib dan teratur sampai hal memainkan musik pun mereka atur momentumnya sesuai dengan waktu-waktu tertentu, seperti siang atau malam.
Mengenai kehidupan pribadinya memang tidak banyak diketahui orang. Pengarang pengarang sejarah hidupnya seperti Qafathi, abu usaibi’ah, ibn nubatah, Mustafa abdur raziq dan Dr. Al Ahyuni, De Boer, dengan segala susah payah mengumpulkan beberapa ceritera tentang kehidupan dihari-hari mudanya. Sejarah hidupnya disusun orang jauh sesudah matinya, jauh sesudah karangan-karangannya hilang didalam onggok-onggok perpustakaan ilmu pengetahuan. Orang baru teringat akan menulisi hidupnya sesudah ia ternama sebagai seorang yang besar, sesudah masyhur sebagai tokoh pertama dalam pembukuan ladang filsafat islam, jauh sesudah ia tidak ada lagi di atas muka bumi. Anak anak islam baru sibuk mencari sejarahnya setelah barat menyelidiki, bahwa ya’qub itu adalah Al Kindi yang terbesar dan berjasa dalam membangun kemajuan ilmu pengetahuan dimasa masa keemasan islam. Anak anak islam baru memperingati hidupnya, setelah Riter dan Pelsener membongkar kembali naskah naskah karangannya dalam perpustakaan aya sofia dan disiarkan dalam majalah pengetahuan Cekoslowakia, setelah De Boer maju ke depan dengan sejarah falsafah dalam islam, setelah wiedemann datang dengan” Uber Eine Astronomische Schrift Von Al Kindi dan lain-lain”.
b. Agama dan Falsafat
Al Kindi memandang bahwa falsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban islam. Ia membela falsafat dari serangan sebagian ulama. Ia pula yang berupaya pertama kali di kalangan muslim untuk menunjukkan bahwa falsafat dan agama merupakan dua barang yang bisa serasi. Ia menegaskan penting dan mulianya kedudukan falsafat dengan menyatakan sebagai berikut. Yang paling mulia kedudukan dan martabatnya diantara aktivitas manusia, kata Al Kindi, adalah aktivitas falsafat, yang definisinya adalah: mengetahui hakikat sesuatu sejauh batas kemampuan manusia. Tujuan seorang filosof adalah mendapatkan kebenaran dan mengamalkannya. Bagian yang paling luhur dari falsafat adalah falsafat pertama, yakni mengetahui kebenaran pertama (Tuhan), yang merupakan sebab bagi setiap kebenaran.
Al Kindi menyatakan bahwa yang dicari dalam melalui falsafat tidaklah lain dari apa yang diinginkan atau dibawa oleh agama atau oleh para rasul Tuhan, yaitu pengetahuan tentang ketuhanan dan keesaan Allah, keutamaan dan semua yang bermanfaat, termasuk jalan yang menyampaikan kepada manfaat atau menjauhkan manusia dari bahaya. Sebagai filosof yang meyakini wahyu, Al Kindi membagi pengetahuan ke dalam dua kategori, yaitu pengetahuan Ilahi dan pengetahuan manusiawi. Yang pertama adalah pengetahuan yang diwahyukan Tuhan kepada para nabi/ rasul-Nya. Para nabi itu mendapatkan penetahuan Ilahi sama sekali bukan atas kehendak dan upaya mereka, tapi semata-mata atas kehendak dan inisiatif Tuhan. Tuhan, kata Al kindi, menyucikan, menguatkan, meluruskan, menyinari, mengilhami dan mewahyukan risalah-Nya kepada, jiwa mereka. Pengetahuan Ilahi itu, katanya, hanya khusus bagi para nabi/ rasul, dan tidak ada jalan bagi manusia yang bukan nabi/ rasul untuk mendapatkan pengetahuan yang penting itu. Yang kedua adalah pengetahuan yang dihasilkan atau diperoleh manusia atas kehendak dan upayanya. Pengetahuan falsafat masuk ke dalam kategori ke dua.
c. Tuhan dan Alam
Setelah merasa berhasil membuktikan secara logika matematis bahwa alam itu terbatas dan bahwa alam itu pernah tidak ada, maka Al Kindi melanjutkan argumennya bahwa tentulah ada pencipta alam ini dari tidak ada menjadi ada, dan pencipta itulah Tuhan. Argumen lain yang dikemukakan Al Kindi dapat dirangkum sebagai berikut. Sebenarnya fenomena-fenomena empirik cukup jelas menunjukkan adanya pengaturan oleh pengatur awal, yakni pengatur bagi setiap pengatur, pelaku bagi setiap pelaku, pengada bagi setiap pengada, yang awal bagi setiap yang awal, dan sebab bagi setiap sebab. Kenyataan demikian hanya dapat diinsyafi oleh orang yang alat indrawinya disinari oleh akalnya, tujuan dan sandarannya adalah kebenaran, dasar bagi kesimpulan dan putusnya adalah kebenaran, dan menjadikan akal sebagai penilai disisinya pada setiap konflik dalam batinnya. Siapa yang berkeadaan demikian, kata Al Kindi, niscaya akan terang baginya bahwa Allah Yang Maha Terpuji itu adalah esensi kebenaran, yang senantiasa ada, tidak pernah tidak ada, dan tidak akan pernah menjadi tidak ada. Kata Al Kindi, sesungguhnya ketertiban alam ini, baik susunannya, interaksinya, kaitan antara bagian dengan bagiannya, tunduknya suatu bagian pada bagian yang lain, dan kekokohan strukturnya di atas landasan prinsip yang terbaik bagi proses menyatu, bercerai-berai, muncul, dan lenyapnya sesuatu dalam alam ini, semuanya adalah indikasi terbesar yang menunjukkan adanya pengaturan yang mantap dan kebijaksanaan yang kokoh, dan dengan demikian tentulah ada pengatur yang bijaksana, yaitu Tuhan. Alam raya mematuhi Tuhan: ini menarik hati terutama karena Al Kindi menguraikannya dengan memberikan komentar atas ayat terkenal dalam Al-Quran yang mengatakan tentang bintang-bintang yang merunduk di hadapan Tuhan. Persoalannya adalah apakah artinya “merunduk” ini. Al Kindi berkata bahwa itu artinya bintang-bintang patuh kepada Tuhan; bagaimanapun juga, alam raya diperintah oleh Tuhan, dan seluruh jagat dibuat sebagaimana adanya oleh Tuhan. Jadi kita lihat di sini sebuah komentar atas Al Quran dibantu oleh kosmologi Yunani.
Tuhan, menurut Al Kindi, adalah Yang Maha Esa dalam arti yang sesungguhnya, sedangkan esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah dalam arti majazi/ metaforis. Keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan, sedangkan esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan itu. Al Kindi menerangkan bahwa Tuhan, yang adalah satu, adalah sebab dari kesatuan segala sesuatu yang diciptakan dan karena itu sebab dari adanya segala sesuatu itu, karena segenap kehidupan adalah satu atau menyatu; selaku sebab dari kesatuan segala sesuatu yang diciptakan, maka ia adalah pencipta dalam arti kata yang sebenarnya; dan dalam analisis terakhir Ia adalah satu-satunya pelaku sejati, pelaku-pelaku lainnya hanyalah sebagai pelaku-pelaku sambungan saja. Al Kindi berpendapat, bagian filsafat yang paling tinggi nilainya ialah pengetahuan tentang “kebenaran pertama” (al-haqqul awwal), yang dianggapnya sebagai kebenaran satu-satunya. Kesimpulan tentang pendapatnya itu ia sebutkan dalam akhir risalahnya yang dikirimkan kepada Ahmad bin al-Mu’tashim Billah, yaitu: “Dialah yang pertama, pencipta yang menguasai segala ciptaan-Nya.
d. Falsafat Jiwa dan Hidup Sesudah Mati
Al Kindi, dalam rangka menjelaskan sejumlah konsep Yunani tentang jiwa, yang juga dianutnya, menulis bahwa jiwa manusia itu sederhana (tidak tersusun), mulia, sempurna, dan penting. Al Kindi dalam tulisannya juga mengatakan bahwa jiwa itu mempunyai potensi pikir (al- quwwah al-‘aqliyyah), potensi marah (al-quwwah al-gadabiyyah), dan potensi syahwat (al-quwwah al-syahwaniyyah). Manusia bila meremehkan segala yang empirik dan memusatkan pandangan dan bahasanya pada hakikat-hakikat sesuatu, niscaya terbuka bagi jiwanya pengetahuan tentang yang gaib, mengetahui apa yang tersembunyi dalam jiwanya, dan mengetahui rahasia-rahasia ciptaan.
Bila tujuan seorang manusia di alam dunia ini hanya untuk mendapatkan kelezatan makan dan minum, niscaya tertutup jalan bagi potensi (daya) pikirnya untuk mengetahui hal-hal yang mulia, dan tidak mungkin baginya mencapai kualitas menyerupai Tuhan Swt. Potensi syahwat pada manusia dianalogikannya dengan babi dan potensi marah dengan anjing, sedang potensi pikir dengan malaikat. Kematian manusia di alam dunia berarti berpisahnya jiwa dari badan. Dalam falsafat Al Kindi, setiap jiwa, langsung atau tidak langsung (lebih dahulu melalui proses pengembaraan yang berarti penderitaan dan penyucian), kelak akan memasuki alam ketuhanan dan menikmati kebahagiaan surgawi yang bersifat spiritual semata.
e. Akal dan Akhlak
Al Kindi, dalam risalahnya tentang akal, menulis tentang akal yang selamanya aktual, yang berada di luar jiwa manusia, dan akal yang pada mulanya terdapat secara potensialdalam jiwa manusia. Sejalan dengan Plato, Al Kindi menulis bahwa pokok pangkal keutamaan jiwa manusia adalah memilih dan mengembangkan sikap moderat (al-I’tidal), sedangkan pokok pangkal kehinaan adalah keluar dari sikap moderat itu dan menjadi ekstrim, baik dalam bentuk sikap terlalu kurang (al-taqsir), atau sikap berlebihan (al-ifrat). Dengan mengaktualkan sikap (sifat) moderasi, maka dari potensi pikir mengaktual keutamaan pokok berupa kebijaksanaan, dari potensi marah mengaktual keutamaan pokok berupa keberanian, dan potensi syahwat mengaktual keutamaan pokok berupa kesucian/keterkendalian selera. Bila terlalu kurang dalam mengembangkan potensi jiwa itu, maka pada jiwa muncullah kedunguan, sikap pengecut, dan kelesuan, dan bila terlalu berlebihan, maka muncul kelicikan, kenekatan/sembrono, dan keserakahan. Manusia haruslah mengembangkan ketiga potensi jiwanya sedemikian rupa sehingga mengaktual empat keutamaan pokok di atas (moderasi, kebijaksanaan, keberanian, dan kesucian/keterkendalian). Dengan empat keutamaan pokok itu seseorang menjadi manusia utama.
Ar-Razi (251-313 H /805-925 M.)

a. Riwayat Hidup
Nama Ar-Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya Ar-Razi. Beliau lahir di Rayy pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/805 M. Pada masa mudanya beliau menjadi tukang intan dan suka pada musik (kecapai) . Beliau cukup reflek terhadap ilmu kimia, dan beliau juga belajar ilmu kedokteran(obat-obatan) dengan sangat tekun. Dengan latar belakang itulah Ar-Razi di kota kelahirannya dikenal sebagai seorang dokter, sehingga beliau dipercaya untuk memimpin rumah sakit di Rayy oleh Mansur bin Ishaq Ibn Ahmad Ibn Asad ketika Mansur menjadi Gubernur. Dan beliau juga menulis buku yang dipersembahkan untuk Gubernur tersebut.
Sebagai seorang yang terkenal, pada dasarnya beliau mempunyai banyak murid belajar kepadanya. Metode penyampaian materinya adalah sistem daya pengembangan intelektual. Diantara muridnya yang cerdaslah Abu Bakar ibn Qorin al Razi, yang kemudian menjadi seorang dokter. Beliau selalu menggunakan waktunya untuk menulis dan belajar. Kemungkinan hal itu sebagai salah satu indikasi kebutaan matanya. Ar-Razi dalah filosof yang berani mengeluarkan pendapat-pendaptnya meskipun pendapat tersebut bertentangan dengan paham yang dianut umat Islam yaitu:
1. Tidak percaya pada wahyu
2. Al-Qur’an bukan mu’jizat
3. Tidak percaya pada Nabi-Nabi
4. Adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan
Meskipun beberapa pemikiran Ar-Razi bertentangan dangan kepercayaan umat Islam, pemikirannya telah memberi warna tersendiri dalam filsafat Islam. Terutama tentang kebesan berfikir dan menemukan kebenaran dalam menggunakan akal.
Beliau wafat pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 7 Oktober 925 M . sampai meninggal beliau belum dapat disembuhkan kebutaan matanya.
a. Karya-karya Ar-Razi Adapun buku-buku yang ditulisnya mencakup ilmu kedokteran, ilmu fisika, logika, matematika, dan astronomi. Komentar-komentar, ringkasan, ikhtisar, filsafat, dan ilmu pengetahuan hipotesis dan atheisme. Untubk jumlah karya-karyanya yang dikarang banyak perbedaan pendapat ada yang mengatakan 250 judul, 148 buah, dan ada yang mengatakan 309 judul buku atau risalah yang kebnyaka dalam bidang kedokteran. Karya tulis yang terkenal adalah Al-Hawi (Himpunan) adapun buku-buku itu diantaranya adalah:
• At-Thibb al-ruhani
• Al-Shirath al-dawlah
• Amarah al-Iqbal al-Dawlah
• Kitab al-Ladzdzah
• Kitab al-‘Ilm al-Ilahi
• Maqalah fi ma ba’d al-Thabi’iyyah; dan
• Al-Shukuk ‘ala Proclus
• Sekumpulan karya logika berkenaan dengan Kategori-Kategori, Demonstrasi, Isagoge, dan Kalam Islam;
• Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya;
• Materi Mutlak dan Partikular;
• Plenum dan Vacum, ruang dan waktu;
• Fisika;
• Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana;
• Tentang keabadian dan ketidakabadian tubuh;
• Sanggahan terhadap Proclus;
• Opini fisika: “Plutarch” (Placita Philosophorum);
• Sebuah risalah yang menunjukkan bahwa benda-benda ber¬gerak dengan sendirinya dan gerakan itu pada hakikatnya adalah milik mereka;
• Obat pencahar rohani (Spiritual Physic);
• Jalan filosofis;
• Metafisika menurut ajaran Plato; dan
• Metafisika menurut ajaran Socrates.
Demikian diantara karya-karyanya yang dapat kita jumpai sampai sekarang, meski diantara buku-buku tersebut hanya terhimbun dalam satu kitab yang dikarang oleh orang lain. Yang banyak berperan dalam masalah ini adalah:
• Lima keabadian yaitu Allah, roh semesta, materi pertama, ruang muthlak, dan waktu muthlak.
• Materi
• Waktu dan ruang
• Ruh dan dunia

Filsafat Ar-Razi
1. Logika
Ar-Razi adalah seorang rasionalisme murni, dan beliau hanya mempercayai khekuatan akal. Bahkan didalam bidang kedokteran study klinis yang dilakukannya setelah menemukan metode yang kuat dengan berpijak kepada observasi dan eksperimen.
Bahkan pemujaan Ar-Razi terhadap akal tampak sangat jelas pada halaman pertama pada bukunya At-Thibb. Beliau mengatakan, Allah segala puji baginya, yang telah memberikan akal agar dengan-Nya kita dapat memperoleh sebnyak-banyaknya manfaat. Inilah karunia terbaik Allah kepada kita. Akal adalah suatu yang mulia dan penting karena dengan akal kita dapat memperoleh pengetahuan tewntang tuhan. Maka tidak boleh melecehkannya.
2. Moral
Adapun pemikiran Ar-Razi tentang moral sebagaimana tertuang dalam buku At-Thibb al-ruhani dan Al-Sirah al-Falsafiyyah, bahwa tingkah laku itu berdasarkan dari akal. Hawa nafsu harus berada dibawah kendali akal dan agama. Beliau memperingatkan bahaya minuman khomr yang dapat merusakkan akal dan melanggar agama.
Berkaitan dengan jiwa, Ar-Razi menjadikan jiwa sebagai salah satu alasan pengobatan baginya. Menurutnya antara tubuh dan jiwa terhadap suatu hubungan yang sangat erat, misalnya: emosi jiwa tidak akan terjadi kecuali dengan melalui pengamatan indrawi.
Kenabian/ Theologi
Ar-Razi menyangkah bahwa anggapan bentuk kehidupan manusia memerlukan nabi sebagaimana yang dikatakannya dalam bukunya Naqd al-Adyan au fi al-Nubuwah. Beliau mengatakan bahwa beliau tidak percaya kepada wahyu dan adanya nabi. Menurutnya para nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus. Karena semua orang adalah sama dan keadilan tuhan secara hikmahnya mengharuskan tidak membedakan antara seoranng dengan yang lainnya.
Ar-Razi juga mengritik kitab suci baik injil maupun al-quran. Beliau menolak mukjizat al-quran baik segi isi maupun gaya bahasanya. Menurutnya orang mungkin saja dapat menulis kitab yang lebih baik dengan gaya, bahasa yang lebih indah. Kendatipun demikian, Ar-Razi tidak berati seorang atheis, karena beliau masih menyakini adanya Allah.
3. Metafisika
Filsafat Ar-Razi dikenal dengan ajaran “Lima kekal” yaitu:
 Allah Ta’ala
 Ruh Universal
 Materi pertama
 Ruang absolute
 Masa absolute

Berikut ini uraian singkat mengenai “Lima kekal” yaitu:
1. Tuhan
Dasar keyakinan atas kekekalan Tuhan adalah keyakinan bahwa adanya alam ini karena ada yang menciptakan. Ar-Razi tidak mengajukan pembuktian tentang kekekalan Pencipta. Tidak sebagaimana Plato yang memandang dunia diciptakan dan abadi untuk selamanya (everlasting), ar-Razi memberikan proposisi aksiomatik dengan mempercapai bahwa dunia ini diciptakan dalam interval waktu tertentu dan bersifat sementara (transient). Pencipta alam tiada lain selain Zat Yang Maha Kekal (Qadim), Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Pandai dan Maha Bijaksana (tam al-‘ilm wa al-hikmah), Yang tiada lalai dan alpa (la sahw wa gaflah), yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kehidupan terpancarkan dari hadirat Maha Pencipta laksana cahaya yang terpencar dari sinar mentari. Tuhan memancarkan karunia-Nya berupa kesempurnaan akal serta jiwa yang menerangi kehidupan hingga dapat mengatasi kebodohan, sekaligus mengatasi kepasifan (la fi’l wa la infi ‘al) materi.

2. Ruh (Jiwa Universal),
Di antara lima hal yang kekal terdapat dua dzat yang hidup dan bergerak (hayyani fa ‘ilani), yakni Tuhan dan ruh (al-Bari wa an-Nafs), ar-Razi tidak berusaha membuktikan kekekalan ruh maupun Tuhan. Ruh dipandang sebagai keabadian lain selain Tuhan karena berasal dari jiwa universal yang bersifat kekal. Ruh adalah substansi murni, tak tersusun substansi lain (jauhar mujarrad). Ruh memiliki sifat bodoh., dan hanya dapat mengetahui sesuatu berdasarkan pengalaman. Kebodohan menyebabkan ruh tertarik kepada materi (tamil ila at-ta’alluq bi al-huyula) dan berupaya membuat bentuk darinya untuk memperoleh kebahagiaan kebendaan (tathlub al-ladzdzah), tetapi materi menolak.

Tuhan tahu bahwa ruh membutuhkan kesenanagan materi. Tuhan yang semula tidak berkehendak mencipta kemudian membentuk alam untuk menolong ruh agar ia beroleh kesenangan materi (al-ladzdzah) di dalamnya. Namun demikian bukan berarti kehendak Tuhan berlangsung atas dorongan pihak lain (ruh). Di tengah alam Tuhan menciptakan bentuk-bentuk yang kuat, termasuk manusia agar ruh dapat bertempat di dalamnya serta memperoleh kebahagiaan jasmani.

Kesenangan dalam dunia benda tidak akan membebaskan ruh dari rasa sakit (la tanfakk ‘an al-alam). Kebodohan menyebabkan ruh tidak mengetahui bahwa kesenangan sejati yang bebas dari penderitaan (al-ladzdzah al-khaliyyah ‘an al-alam) bukan terletak pada materi, tapi ketika terbebas dari jeratan materi. Guna mengingatkan ruh agar senantiasa menyadari dunia sejatinya. Tuhan memancarkan Jiwa Rasional berupa kecerdasan akal (al-‘aql/intelegensi). Iluminasi akal atas ruh menyadarkannya atas tempat kebahagiaan sejati, yang dapat dicapai dengan mempelajari filsafat sebagai pengasah pikiran. Keyakinan atas keabadian, doktrin perpindahan jiwa (metempsvchosis) serta peran filsafat sebagai jalan tembus (path way) ke arah purifikasi dan pembebasan jiwa dari belenggu materi (tubuh) merefleksikan pengaruh pemikiran platonic-phytagorean.

Dengan mempelajari filsafat, ruh dapat mengetahui dunia sejatinya, memperoleh pengetahuanm, serta dapat membersihkan diri. Bila tidak demikian, maka ruh tidak akan selamat dari keadaan buruk, tidak dapat kembali ke tempat asalnya, serta akan selalu tinggal di alam materi. Ruh akan tetap di dunia materi hingga disadarkan kembali oleh filsafat tentang rahasia dirinya. Bila seluruh ruh sudah bersih, alam ini akan hancur, dan seluruh materi kembali ke tempat asalnya.

Tuhan mengarahkan pada kemurnian ruh dari materi melalui penganugerahan akal, sebab keterperangkapan ruh pada materi merupakan bibit-bibit kejahatan. Pembebasan ruh dari unsur-unsur materi berarti menghapus keraguan akan kekekalan dunia sekaligus menghapus kejahatan. Namun demikian, bukan berarti kejahatan akan hapus sama sekali, dikarenakan keterperangkapan ruh pada materi tidak mungkin sepenuhnya dihilangkan.

3. Materi Absolut,
Pandangan ar-Razi tentang materi mengacu pada pandangan platonic dan pra-Sokratik. Pandangan ar-Razi cenderung atomistis, terutama lebih dekat pada pemikiran Demokritos. Ar-Razi meyakini bahwa alam dan segala yang ada di dalamnya diciptakan Allah dari sesuatu (unsur-unsur) yang lain. Ia menolak pandangan creation ex nihilo, sebab menurutnya segala sesuatu pasti diciptakan dari bahan atau materi lain.

Setiap materi tersusun oleh partikel-partikel atom yang mempunyai volume tertentu hingga dapat disusun dan dibentuk. Atom-atom tersebut menghasilkan lima unsur, yaitu: bumi, udara, api, air dan unsur eter (celestial element). Sifat-sifat unsur tersebut; terang, berat, buram, padat, dan transparan, digunakan untuk menjelaskan komposisi materi berdasarkan proporsi unsur dan kehampaannya. Unsur bumi (jauhar al-ardl) tersusun oleh substansi yang lebih padat. Substansi yang lebih renggang menjadi unsur air (jauhar al-ma’), kemudian lebih renggang lagi unsur udara (jauhar al-hawa’), dan unsur api (jauhar al-nar) merupakan unsur paling renggang.

Hancurnya materi ataupun dunia ini tidak akan menjadikan substansi penyusunnya musnah tanpa bekas, melainkan hanya menjadi serpihan-serpihan materi yang lain. Bila serpihan tersebut terus terurai, maka akan sampai pada partikel atom, partikel terkecil yang tidak bisa dibagi lagi. Konsep kekekalan materi ini tidak bertentangan dengan barunya alam, sebab penciptaan alam dimulai sejak penyusunan materi, bukan sejak penciptaannya. Karena itulah materi dipandang sebagai sesuatu yang kekal.

Kekekalan materi dicoba dibuktikan oleh ar-Razi dengan memberikan dua argumentasi:
1. Penciptaan dari tiada adalah mustahil. Berdasarkan pengamatan (al-istiqra’ al-kulli), segala sesuatu terjadi dengan susunan, melalui proses, bukan dengan cara sekejap mata. Karena itu Tuhan tidak mungkin membuat sesuatu tanpa bahan (creation ex nihilo).
2. Bila alam ini diciptakan, tentu saja ada Penciptanya. Tuhan menciptakan sesuatu dengan materi yang terbentuk. Kekuatan Pencipta (Tuhan) diperlukan guna membentuk dan menyusun materi itu. Jika Penciptanya kekal, maka materi yang dikenai kekuatan Pencipta juga kekal.

4. Ruang,
Berbeda dengan Aristoteles, ar-Razi memahami ruang (al-makan/locus) sebagai konsep abstrak, di mana ruang tidak dapat dipisahkan dari tubuh (inseparable from body). Setiap wujud (al-mutamakkin) memerlukan ruang sebagai tempat berwujud, karena itu ruang pasti ada. Ruang merupakan tempat bagi setiap yang wujud maupun yang bukan wujud. Karena materi yang menempati ruang bersifat kekal, maka ruang tempat materi berada juga kekal.

Ar-Razi membedakan ruang ke dalam dua bagian, yaitu ruang relatif (al-makan al-mudaf) dan ruang absolut (al-makan al-mutlaq). Ruang relatif adalah ruang yang terbatas, yang adanya tergantung pada adanya wujud yang menempati. Bila tidak ada yang menempati, maka ruang itu tidak ada.

Sedangkan ruang absolut adalah ruang yang ditempati oleh seluruh materi. Ruang absolut merupakan tempat beredarnya materi, baik sebelum atau sesudah diciptakan, bahkan setelah hancurnya alam menjadi materi-materi yang lain. Keberadaan ruang ini tidak tergantung adanya benda-benda angkasa. Tanpa benda apapun ruang tetap ada. Ar-Razi mencontohkan ruang absolut dengan sebuah bejana yang berisi benda-benda. Bila benda-benda tersebut diangkat dari bejana, maka bejananya tidak terangkat.

Ar-Razi juga menjadikan kekekalan materi sebagai dasar keyakinan atas kekalnya ruang. Ruang adalah tempat adanya wujud fisik (al-jism). Setiap yang wujud pasti menempati ruang, sedang yang di luar wujud tersebut ada ruang dan bukan ruang, karena itu yang menempati ruang terdiri dari yang wujud dan yang bukan wujud. Jika bukan ruang, sesuatu itu pasti wujud yang terbatas, dan jika bukan wujud sesuatu itu tentu ruang. Wujud itu terbatas karena ia ada dalam ruang, mengingat ruang itu tidak terbatas, dan ketidakterbatasannya menunjukkan bahwa sesuatu itu kekal (qadim).

5. Waktu Absolut,
Waktu adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri), merentang (mumtadd) dan kekal (qadim). Waktu tudak dapat dipahami sebagai jumlah gerak benda (‘adad harakah al-jism) sebagaimana pendapat Aristoteles dan para pengikutnya. Dua benda yang begerak dalam waktu yang bersamaan tidak mungkin menghasilkan jumlah waktu yang berbeda. Ini selaras dengan Transyahri yang memandang bahwa zaman (az-Zaman), keberlangsungan (ad-dahr) dan materi (al-maddah) tidak lain hanyalah nama yang maknanya kembali pada substansi yang satu.

Ar-Razi membedakan waktu menjadi dua: waktu mutlak atau waktu absolut (ad-dahr) dan waktu terbatas (al-mahsur). Waktu yang terbatas (al-waqt/time) ditentukan berdasarkan pergerakan falak, seperti terbit dan tenggelamnya matahari, sehingga bisa diukur (measurable). Perhitungan atas gerakan planet tersebut menyebabkan waktu terbatas dapat dibagi-bagi menjadi segmen-segmen waktu, mulai dari hari, bulan, tahun dan seterusnya. Waktu yang hanya ditentukan berdasarkan rotasi maupun gerak bola bumi mengitari matahari merupakan waktu terbatas.

Adapun waktu absolut yang disebut juga dengan al-dahr (keberlangsungan) akan senantiasa kekal dan bergerak, tanpa harus tergantung pada pergerakan falak. Waktu absolut ini digunakan ar-Razi untuk menjelaskan waktu sebelum dan sesudah diciptakan dan fananya alam ini. Waktu mutlak dapat dipahami dari kekekalan gerak dan perubahan materi dalam ruang yang tak terbatas dan kekal, karena itu waktu absolut juga kekal.


Al-farabi ( 259-339 H/872-950 M )
A. Riwayat hidup dan karya tulisnya
Al-Farabi, nama lengkapnya Adalah Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Uzlagh Ibnu Tarkhan Al-Farabi, ia dilahirkan di Wasij, dekat atau dalam negri Farab, di sebelah selatan Samarhand, Asia tengah pada tahun 259H/872M . Ayahnya seorang jendral berkebangsaan persia dan ibunya berkebangsaan Turki. Oleh sebab itu terkadang ia dikatakan keturunan Persia dan terkadang disebut keturunan Turki. Akan tetapi, sesuai ajaran Islam, yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, lebih tepat ia disebut keturunan Persia.
Kendatipun Al- Farabi merupakan bintang terkemuka di kalangan filosof muslim, ternyata informasi tentang dirinya sangat terbatas. Ia tidak merekam liku-liku kehidupannya, begitu juga murid-muridnya. Menurut beberapa literatur, Al-Farabai dalam usia 40 tahun pergi ke Bagdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di kala itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa arab Kepada Abu Bakar Al-Saraj dan belajar logika serta fisafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius Ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna Ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama ia kembali ke bagdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selam di bagdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Di antara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibnu Adi filosof kristen.
Sebagai filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena didukun oleh ketekunan dan kerajinan dan juga ketajaman otaknya. Pihak lain pada masa itu belum ada pemilahan buku-buku antara sains dan fisafat. Oleh sebab itu, membaca satu buku akan bersentuhan secara langsung dengan kedua ilmu tersebut. Berdasarkan karya tulisnya, filosof Muslim berkebangsaan Persia ini menguasai Matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa dan lain-lainnya.menurut riwayat Al-Farabi mengusai 70 bahasa.
Al- Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles, yang dijuluki al-Mu’alim al-Awwal ( Guru pertama ), sehingga tidak mengherankan bila Ibnu Sina, yang menyandang prediket al-Syaikh al-Ra’is ( kiyahi utama ), mendapat kunci dalam memahami filsafat Aristoteles dari buku Al-Farabi yang berjudul fi Agharadhi ma ba’d al- Thabi’at.
Al-Farabi dalam dunia intelektual Islam mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany ( guru kedua ). Penilaian ini dihubungkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles.
Karya tulis Al-Farabi
Di antara karya tulisnya yang terpenting adalah:
a. Al-Jam’bain Ra’yai Al-Hakimain
b. Tahshil al-Sa’adat
c. Maqalat Fi Aghardh Ma Ba’d Al-Thabi’at
d. Risalat Fi Isbat Al-Mufaraqat
e. Uyun Al-Masa’il
f. Ara’Ahl al-Madinat al-Fadhilat
g. Maqalat fi Ma’any al-Aql
h. Ihsan al- Ulum
i. Fusul al-Hukm
j. Al-Siyasat al-Madaniyyat
k. Risalat al-Aql dan lain-lainnya.
B. Fisafatnya

1. Rekonsiliasi Al-Farabi
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Aristoteles dan Plato dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof singkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof di atas ialah dengan memajukan pemukiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Seperti dalam membicarakan masalah idea yang menjadi bahan polemik antara Aristoteles dan Plato. Untuk mempertemukan kedua filosof ini, Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan takwil bila ia menemukan pertentangan pemikiran antara keduanya. Kemudian ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat di luar alam ini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut masih dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea zat Allah.
2. Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-Farabi dalam risalahnya tentang politik, menyatakan bahwa upaya pertama yang harus dilakukan seseorang ialah mengetahui adanya pencipta bagi alam dengan segala bagian-bagiannya, melalui pengamatan dengan segala yang maujud ini dengan mempertanyakan apakah masing-masing bagian maujud ini memiliki sebab atau bukan. Melalui upaya induksi, orang akan mengetahui bahwa ada sebab bagi tiap sesuatu. Kemudian, kata Al-Farabi hendaklah orang itu memperhatikan sebab-sebab yang dekat, dan mempertanyakan apakah rangkaian sebab-sebab itu akan berlanjut tanpa akhir atau sebaliknya. Adalah mustahil, kata Al-Farabi, bahwa sebab-sebab itu berlanjut tanpa akhir kenapa apa yang tak berakhir tidak bisa diketahui ( dipahami ).
Al-Farabi berkata, jalan terbaik untuk kita untuk menunjukkan sifat-sifat Yang Maha Esa itu adalah juga mengamati fenomena yang ada disekitar kita. Dari fenomena itu kita akan menjumpai dua kenyataan: yang utama dan yang hina. Maka yang pantas kita sandangkan kepada Yang Maha Esa itu adalah sifat yang paling utama.
3. Penciptaan Alam Secara Emanasi
Berbeda dengan al-kindi yang berpandangan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh tuhan dari tidak ada ( creatio ex nihilo ) menjadi ada, Al-Farabi cendrung memahami penciptaan alam oleh tuhan melalui proses emansi sejak zaman azali sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh tuhan bukan dari tidak ada menjadi ada. Menurut Al-Farabi, hanya tuhan saja yang ada dengan sendiri-Nya tanpa sebab dari luar-Nya, dan karena itu ia di sebut Wajib al-Wujud li zatih ( yang mesti ada karena diri-Nya sendiri ). Dari-Nya memancar segenap alam ciptaan-Nya, baik yang sifat rohani (imateri) maupun yang bersifat jasmani (materi) segenap alam tidaklah ada dengan sendirinya, tapi karena sebab diciptakan/dipancarkan oleh Tuhan. Oleh karena itu Al-Farabi mentebut alam itu mumkin al-wujud li zatih,wajib al-wujut li gayrih (boleh ada dilihat dari dirinya, mesti ada karean sebab di luar diri-Nya). Pancaran (emansi) alam dari tuhan terjadi sebagai aktifitas tuhan memikirkan diri-nya. Aktifitas itu menjadi sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaan-Nya, seperti pemancaran sinar matahari.
4. Kenabian
Filsafat kenabian Al-Farabi erat kaitannya antara nabi dan filosof dalam kesanggupannya untuk mengadakan komunikasi dengan akal Fa’al. Motif utama lahirnya filsafat Al-Farabi ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi kenabian secara filosofis oleh Ahmad ibnu Ishaq Al-Ruwandi (w.akhir abad III H). Tokoh yang berkebangsaan yunani ini menurunkan beberapa karya tulis yang isinya mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Muhammad Saw. khususnya. Kritikan ini dapat di definisikan sebagai berikut:
a. Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena tuhan telah mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui tuhan beserta nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya.
b. Ajaran Agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya thawah di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwah dengan tempat-tempat lainnya.
c. Mukzijat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertsbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya allah membantu umat Islam dalam perang badar dan mengapa dalam perang uhud tidak?
d. Al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar bisa. Orang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa arab dan muhammad adalah kabilah yang paling fasahah di kalangan orang arab.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal Fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran dan renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Al-Farabi menyimpulkan bahwa ciri khas seorang nabi ialah memiliki daya imajinasi yang kuat yang ketika berhubungan dengan akal Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menagkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal Kesepuluh.
5. Negara Utama
Telah disinyalkan bahwa Al-Farabi hidup pada masa daerah otonomi di bawah pemerintah Sultan Saif Al-Daulah. Berat dugaan bahwa filsafat negara utama yang ia cetuskan ini erat kaitannya dengan situasi yang sedang berkembang. Ada benarnya Zainal Abidin Ahmad yang mengatakan bahwa latar belakang lahirnya filsafat Al-Farabi ini disebabkan terjadinya kegoncangan politik pada Dulat Bani Abbas di bawah tekanan para diktator pada zaman kahalifah Al-Radi (322-329 H/934-940 M) Muttaqi (329-333 H/940-944 M) dan Mustakfi (333-334 M/944-945 M). Dengan istilah lain, meminjam Guillaum, sikap para pengusaha Baghdad lebih tepat disebut sebagai raja ketimbang khalifah.
Manusia, menurut Al-Farabi, bersifat sosial yang tidak mungkin hidup dengan sendiri-sendiri. Manusia hidup bermasyarakat dan bantu-membantu untuk kepentingan bersama dalam mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan. Melalui bukunya yang fundamental Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Al-Farabi membagi negar atau pemerintahan menjadi Negara (kota) Utama (al-Madinah al-Fadhilah), Negara Jahil (al-Madinah al-Jahilah), Negara Sesat (al-madinah al-dhalah), Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqah), dan Negara Berubah (al-Madinah al-Mutabadilah) akan tetapi, bahasan Al-Farabi lebih berfokus pada Negar Utama.
Al-Farabi dalam filsafatnya ini menekankan pemberdayaan manusia dalam satu negara sesuai dengan spesialisasi dan kemampuannya, warga negara harus rela berkorban untuk kepentingan bersama dan juga untuk kepentingan negara. Dengan kata lain, saling membantu dan berkerja sama bukan hanya antarwarga negara, tetapi juga antara negara dan warganya. Dilihat dari sisi ini berarti Al-Farabi menepiskan bentuk negara kapitalisme dan sosiolisme komunis.
6. Jiwa
Jiwa manusia dan materi asalnya memancar dari Akal Kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form dari jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya memilki subutansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa.
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a. Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b. Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa berimajinasi.
c. Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkat berikut.
1. Akal Potensi (al-Hayullany), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti:melepaskan arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
2. Akal Aktual (al-Aql bi al fi’l) akal yang telah dapat melepaskan arti-arti amterinya.
3. Akal Mustafad (al-Aql al-Mustafad) akal yang telah dapat menangkap semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan Akal Kesepuluh.

7. Akal
Telah disebutkan bahwa akal, menurut al-farabi ada tiga jenis. Pertama, Allah sebagai akal; kedua, akal-akal dalam filsafat emanasi: satu sampai sepuluh; dan ketiga, akal yang terdapat pada diri manusia. Akal pada jenis pertama dan kedua tidak berfisik (materi/rohani) dan tidak menempati fisik, namun antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam. Allah sebagai akal adalah pencipta dan esa semutlak-mutlaknya maha sempurna dan tidak mengandung pluralisme.
Adapun akal yang kedua, yakni akal-akal pada filsafat emanasi, akal pertama esa pada zatnya, tetapi dalam dirinya mengandung keanekaan potensi. Ia diciptakan allah sebagai akal, maka objek ta’aqqul-nya (juga akal-akal lainnya) tidaklah lagi satu, tetapi sudah dua: Allah sebagai wajib al- wujud dan dirinya sebagai mukmin al-wujud.
Akal jenis ketiga adalah sebagai daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal jenis ini juga tidak berfisik, tetapi bertempat pada materi. Akal ini bertingkat-tingkat, yang terdiri dari akal potensial, akal aktual, akal mustafad, akal yang disebut terakhir ini yanag dimiliki para filosof yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah ke alam materi melalui akal kesepuluh.
AL – Amiri
Filsafat mengalami perkembangan pesat di dunia Islam. Filosof bertebaran silih berganti dalam menyampaikan pemikirannya. Mereka merenungkan alam seiring dengan upaya mendalami Alquran, mengenai alam dan kehidupan. Salah satu sosok filosof yang lahir di dunia Islam adalah Abu al-Hasan al-Amiri. Filosof ini bernama lengkap Abu al-Hasan Muhammad al-Amiri. Ia dikenal pula dengan nama Abu al-Hasan bin Abi Dzarr. Ia lahir di Nisabhur, Persia pada permulaan abad ke-10 Masehi. Ia tak hanya mendalami olah pikir melalui filsafat. Namun, ia pun mengimbanginya dengan olah jiwa melalui sufisme.
Al-Amiri menguasai filsfasat setelah belajar dari Abu Zaid Ahmad bin Sahl al-Balkhi. Ketertarikannya pada ilmu ini membawanya ke dalam pengembaraan. Ia memang berharap menemukan pengetahuan sejati dan pencerahan dengan mendalami filsafat. Tekadnya itu membawa langkahnya ke Baghdad, Irak.
Di Ibu Kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah itu, al-Amiri menjadi guru. Ia tak hanya memberi ilmu, tetapi juga terus menim-banya. Tak heran jika ia sering terlihat di majelis ilmu dan diskusi ilmiah. Salah satunya adalah majelis yang diselenggarakan oleh cendekiawan yang bernama Abu Hamid al-Marwarrudzi.
Pada sebuah kesempatan saat mengunjungi Madinah, ia ikut dalam pertemuan antar filosof Muslim. Di sana, sejarawan al-Tauhidi mencatat sebuah perdebatan yang cukup terkenal antara al-Amiri dan Abu Said al-Sirafi. Di sisi lain, ia mempelajari banyak buku filsafat yang ditulis pemikir Yunani dan India.
Menurut al-Amiri, kebijaksanaan hendaknya lebih menonjol dalam perbuatan-perbuatan, bukan dalam kata. Seseorang yang kurang bijak dikatakan akan lebih menuntut hak daripada menjalankan kewajiban. Dengan pijakan pemikiran semacam itu, ia mengaku sangat prihatin dengan perilaku kurang bijak dari sebagian kalangan.
Al-Amiri juga menjadi magnet. Banyak cendekiawan yang tertarik pada pemikirannya. Sejarawan al-Tauhidi menyebutnya sebagai orang yang kompeten dalam bidangnya. Ini dibuktikan melalui buku yang berjudul Inqadz al-Basyar min al-Jabr wa al-Qadr. Buku ini menjadi rujukan penting.
Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa ilmuwan ternama al-Razi pernah mempelajari buku tersebut. Di dalamnya, al-Amiri menyempatkan diri menggambarkan sosok filsuf ideal. Dalam Al-Nask al-Aqli, al-Amiri berusaha meluruskan pandangan tentang filsuf yang pada saat itu beredar di tengah masyarakat.
Filosof dianggap masyarakat sebagai seorang yang terpaksa hidup mengasingkan diri dari masyarakat dan nilai-nilainya. Hal itu ia nilai justru dapat membahayakan hidupnya. Dalam konteks ini, ia sepaham dengan Ibnu Miska-waih. Filsuf, jelas al-Amiri, tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Dalam pandangan al-Amiri, filosof hanya akan menemukan kesempurnaan saat berada di tengah masyarakat. Itu karena, dengan berinteraksi dalam masyarakat, mereka dapat berkontribusi dalam memperbaiki kondisi masyarakat dengan kemampuan yang dimilikinya. Pada buku lainnya, Al-Saadah wa al-Isad, ia memberikan penjelasan lebih lanjut.
Ketika filosof dijauhkan dari masyarakat, kehidupannya tak lagi berarti. Pada bagian lain dari bukunya itu, ia merumuskan tafsir mengenai kebahagiaan. Ia mengatakan, kebahagiaan merupakan bentuk kesempurnaan manusia. Tindakan-tindakan manusia yang dijalankan dengan ikhlas menjadi jembatan mencapai kebahagiaan.
Mengutip risalah Plato dalam Ethics, muncul gagasan al-Amiri mengenai kebahagiaan intelektual. Hal ini bisa dicapai dengan mengkaji ilmu pengetahuan. Berpijak pada pandangan ini, ia mengatakan bahwa perkembangan ilmu seperti matematika, fisika, dan astronomi merupakan hal yang penting. Sebab, besar manfaatnya bagi umat manusia.
Sufisme
Seperti disebutkan Joel L Kraemer, al-Amiri mendalami sufisme. Ia mengutip uraian yang disampaikan sejarawan abad ke-10 Masehi, Abbu Hayyan. Cendekiawan ini melukiskan al-Amiri sebagai seorang syekh, filsuf, serta penjelajah yang mengembara ke berbagai negara dan berusaha mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Hayyan mengungkapkan, al-Amiri merupakan tipe sufi yang berpindah-pindah. Ia berbeda dengan sufi lainnya yang biasa menetap di suatu tempat. Selama masa pengembaraan, al-Amiri banyak melakukan perenungan. Ia kemudian berbagi pemikiran hasil renungannya dengan orang lain.
Tentang dunia, al-Amiri menegaskan bahwa itu hanya bersifat sementara. Ia mencontohkan, setiap raja tidak kekal memegang kekuasaan dan akan mati, kecuali Tuhan yang Mahakekal, demikian halnya dengan kesenangan. Menurut dia, kecuali kesenangan di surga, kesenangan lain dapat begitu saja berlalu.
Al-Amiri berharap pemikiran-pemikirannya mengilhami masyarakat untuk hanya bersandar pada perlindungan Tuhan. Menyadari kelalaian yang dilakukan dan berusaha terlepas dari kesenangan duniawi. Ia menambahkan, hal ini bukan berarti manusia harus mencampakkan dunia.
Menjelang akhirnya hayatnya, filsuf ini kembali ke kampung halamannya di Nisabhur. Ia meninggal dunia di tanah kelahirannya pada 6 Januari 992 Masehi.
Berdebat melalui Diskusi

Kebiasaan kaum cendekiawan pada abad pertengahan adalah menggelar diskusi serta perdebatan ilmiah. Ini dilakukan untuk bertukar pikiran dengan menjelaskan ide dan gagasan ma singmasing. Kegiatan itu juga ke rap dilakukan oleh Al-Amiri di ber bagai kesempatan. Ia selalu meng hadiri kelompok-kelompok diskusi.
Perdebatan mencakup banyak topik, mulai dari persoalan hukum, sosial, politik, hingga pemerintahan. Tentu, bagi seorang filsuf seperti Al Amiri, semua itu dibahas dengan dalil-dalil filosofis. Hal tersebut pula yang terjadi ketika tokoh ini melakukan perdebatan terbuka dengan Abu Said Al-Sirafi di Madinah.
Joel L Kraemer mencatat momen itu berlangsung dalam majelis Abu al-Fath bin Amid pada Februari 975 Masehi. Pertemuan itu penuh sesak oleh pengunjung. Al-Amiri yang mengawali perdebatan, meminta Al-Sirafi menjelaskan fungsi kata bi dalam kalimat bismillahirahmanirrahim. Banyak orang yang hadir terkejut dengan pertanyaan itu.
Al-Sirafi sigap menjawab dengan menukil beberapa ayat Alquran. Sejarah al- Tauhidi menilai perdebatan antara dua tokoh itu sangat mengesankan. Meski, beberapa sumber mengatakan pertanyaan Al-Amiri melahirkan persaingan panjang antar filsuf. Di Baghdad, Al-Amiri juga terlihat menonjol. Meski, sejumlah filosof tak berkenan dengan kehadirannya. Salah satu pemicunya, menurut versi Al-Amiri, karena mereka kurang menyukai sesuatu yang asing.
Imbasnya, ia sempat ditolak saat ingin bergabung dengan beberapa perkumpulan diskusi. Beruntung, Al-Amiri disambut baik dalam kelompok kajian ilmiah yang digagas Ibnu Al-Amid. Dari tokoh ini, Al-Amiri banyak belajar, termasuk tentang mesin dan teknlogi. Di bawah bimbingan Ibnu Al- Amid, ia banyak memperoleh wawasan baru, terutama di bidang sains, teologi, filsafat, hinggasastra.
Dari sini, dia menemukan bahwa filsafat dapat beriringan dengan ajaran Islam dan terus berusaha mengintegrasikan duahal tersebut. Al-Amiri mengatakan, keesaan Tuhan merupakan unsure penting. Dan, ia meyakini bahwanilai-nilai Islam lebih utama dibandingkan keyakinan lainnya.
Korelasi Agama dan Filsafat Menurut Filosof
Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imta' wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis" Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat ke Baghdad dan mendalami filsafat dan ilmu kalam (teologi).
Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imta' wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis" Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat ke Baghdad dan mendalami filsafat dan ilmu kalam (teologi).
Disamping ia berusaha memadukan syariat dan filsafat, ia juga meneliti agama-agama berbeda lalu ditulis dalam kitabnya yang dinamai Syarâyi' al-Adyan dan beberapa kitab lainnya. Abul Hasan 'Amiri, salah seorang murid Abu Yazid Balkhi, adalah seorang filosof terkenal yang juga berupaya membangun keharmonisan antara agama dan filsafat. Ia memandang bahwa filsafat itu lahir dari argumentasi akal-pikiran dan dalam hal ini, akal mustahil melanggar perintah-perintah Tuhan. Abul Hasan 'Amiri, dalam pasal kelima kitab al-Amad 'ala al-Abad, menyatakan, "Akal mempunyai kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat Tuhan.
'Amiri memandang bahwa akal secara esensial mengikuti dan taat kepada perintah-perintah Tuhan. Di bagian lain dari kitab itu, akal dikategorikan sebagai hujjah dan dalil Tuhan, ia menyatakan bahwa derajat akal apabila dibandingkan dengan jiwa sama seperti daya penglihatan apabila dihubungkan dengan mata. 'Amiri, dalam kitab as-sa'âdah wa al-isâd, juga menyinggung hubungan akal, jiwa dan alam materi, ia berkata, "Jiwa mengambil manfaat dari akal dan menyalurkan manfaat ke alam materi. Akal adalah kemuliaan dan kehormatan jiwa dan jiwa adalah pelayan akal. Ketika jiwa melayani akal maka pada jiwa akan nampak kesucian dan cahaya dan ketika ia meninggalkan akal maka akan nampak kegelapan dan kekotoran. Dengan demikian, kebodohan akan muncul dan berefek pada kehancuran dan kemaksiatan."
'Amiri beranggapan bahwa jiwa yang berakal mempunyai kelayakan untuk menjadi khalifah Tuhan. Menurutnya, seseorang yang memiliki jiwa yang dicahayai oleh akal layak menjadi khalifah Tuhan yang mengatur, mengelolah dan membangun alam ini, dan di alam non-materi menempati kedudukan yang mulia dan tinggi. Jiwa ini, dari sisi badan berhubungan dengan alam rendah (materi) dan dari dimensi akal berkaitan dengan alam tinggi. Dengan ibarat lain, khalifah Tuhan adalah substansi wujudnya memiliki kedudukan ruhani dan spiritual tertinggi dan juga berhubungan dengan derajat jasmani terendah, maujud ini tidak lain merupakan sesuatu yang menghubungkan dan menggabungkan dua alam.
Dari perspektif di atas, 'Amiri menafsirkan makna kenabian dan menyimbolkannya dengan sebuah garis. Garis ini, pada satu sisi terhubung ke alam ruhani dan pada sisi lain memanjang ke alam materi. Dengan begitu wahyu dapat didefinisikan menjadi sebuah realitas makna yang turun dari alam gaib ke alam materi. Menurut 'Amiri, walaupun jiwa di awal perwujudannya tak lepas dari pengaruh materi dan indera-indera lahiriah, tapi jiwa tidak pernah terputus dari cahaya akal, karena akal merupakan esensi jiwa
Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas, bisa dikatakan bahwa filosof tersebut sepakat dengan gagasan kebaikan dan keburukan akal, dan hal ini juga diterima oleh aliran Mu'tazilah. Dari pikiran-pikiran Mu'tazilah diketahui bahwa mereka ini berpijak pada konsep "syariat akal". Mereka mendefinisikan "syariat akal" sebagai berikut, "Salah satu syariat akal adalah bahwa manusia tidak menyukai apa yang terjadi pada seseorang sebagaimana dia juga tidak mencintai hal tersebut terjadi pada dirinya, dan manusia mencintai apa yang berlaku padanya sebagaimana dia juga menyenangi hal itu berlaku pada orang lain. Perbuatan yang dia kerjakan secara tersembunyi dengan senang hati juga dilakukan secara terbuka" Apa-apa yang dipandang akal sebagai keburukan digolongkan sebagai hal yang wajib dihindari dan tidak dikerjakan.
Mereka yang berpijak pada "syariat akal" memandang bahwa hukum-hukum dan undang-undang yang diturunkan untuk manusia yang bersumber dari Nabi dan Rasul mustahil bertentangan dengan "syariat akal". Abul Hasan 'Amiri, dalam kitab al-Itmâm lifadhâil al-anâm, membahas hubungan antara teori (ilmu) dan amal, di situ ia menekankan pentingnya ilmu bagi amal. Di tempat lain ia katakan bahwa wahyu, ilham, lintasan ide, dan pikiran merupakan bentuk ibadah akal (an-nusuk al-aql). An-nusuk berarti ibadah, kesucian, dan kedekatan kepada Tuhan, menurut 'Amiri hukum-hukum Ilahi adalah rasional dan apa yang rasional dapat menyebabkan kesucian dan kedekatan keda Tuhan. Ibnu Sina, dalam salah satu karyanya juga mengungkapkan bahwa tafakkur, berpikir, dan kontemplasi juga merupakan salah satu bentuk ibadah dan doa. Menurut Ibnu Sina, tafakkur dalam kerangka teoritis dan praktis (terapan) pada hakikatnya adalah bahwa manusia berakal mengulurkan tangannya kepada realitas mutlak yang maha sempurna untuk memohon agar hakikat, rahasia, dan ilmu atas segala sesuatu tersingkap baginya.
Musa bin Maimun, seorang filosof Yahudi, karena terpengaruh filsafat Islam beranggapan bahwa tafakkur dan kontemplasi sebagai salah satu bentuk ibadah yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan, karena itu ia berupaya merujukkan akal dan agama. Ia, dalam kitabnya Dilâlah al-hairîn, berkata, "Tafakkur dan berpikir merupakan jalan kesempurnaan manusia.
Abu Nashir Farabi, pendiri maktab filsafat Islam, filosof yang juga berupaya menggabungkan antara agama dan filsafat. Filosof ini, setelah mengkaji secara mendalam persoalan “kebahagian” pada akhirnya berpendapat tentang bentuk tasawuf (pensucian diri) yang berpijak pada rasionalitas. Tasawuf Farabi merupakan tasawuf yang tidak hanya menekankan pada niat tulus, disiplin, dan motivasi yang kuat dalam sair suluk (perjalanan spiritual) serta bersungguh-sungguh dalam meninggalkan kelezatan-kelezatan jasmani dan duniawi, tetapi juga menitikberatkan pada dimensi teoritis yang berpijak pada pemikiran yang mendalam. Menurut Farabi, kesempurnaan pensucian jiwa bukan hanya bergantung pada ibadah-ibadah ritual, tetapi juga dipengaruhi oleh tafakkur, rasionalitas, dan pemikiran. Tak bisa disangkal bahwa ibadah-ibadah jasmani juga berpengaruh dalam pencapaian kesempurnaan, tetapi kesempurnaan yang diraih bersama dengan akal-pikiran dan rasionalitas memiliki keunggulan yang lebih. Semakin sempurna akal-pikiran dan makrifat manusia, maka semakin dekat ia kepada alam transenden dan alam akal, dan ketika ia sampai pada derajat alam akal tertinggi, maka selayaknya ia memperoleh cahaya-cahaya Tuhan, puncak tertinggi kebahagiaan dan kesempurnaan makrifat Ilahi.
Hakikat matahari yang bercahaya itu adalah satu dan ia tidak menjadi banyak dengan beragamnya manifestasi-manifestasinya. Kota hanyalah satu tapi pintu-pintunya sangatlah banyak dan jalan-jalan menuju ke kota itu tak berbilang banyaknya. Dari kumpulan karya-karya Syaikh Isyraq dapat dipahami bahwa Hikmah Isyraqi dijabarkan dengan bahasa kinayah, dan bahasa kinayah tidak dapat diketahui oleh banyak manusia. Bahasa argumentasi dan filsafat dapat dipahami oleh sebagian manusia yang memiliki kemampuan dan bakat yang cukup, tetapi memahami bahasa kinayah tak cukup hanya dengan kemampuan yang cukup itu. Untuk mengetahui bahasa kinayah diperlukan kemampuan istimewa yang hanya dapat dicapai dengan riyadhah (disiplin spiritual), muraqabah (penjagaan diri dari segala kemaksiatan), tafakkur mengenai hakikat jiwa dan alam. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa sebagaimana penciptaan dan perwujudan segala sesuatu hanya dilakukan oleh Tuhan, maka Dia pulalah yang memberikan hidayah kepada semua makhluk-Nya.
Bagi kaum ulama juga tidak dibenarkan mengungkapkan dan menyampaikan hakikat-hakikat yang diperoleh dari jalur penakwilan kepada masyarakat awam." Ibnu Rusyd dalam tulisannya berpijak pada perkataan Imam Ali as yang bersabda, "Berbicaralah kepada masyarakat sehingga mereka dapat memahami, apabila kandungan pembicaraan lebih tinggi dari pada kadar pemahaman masyarakat, maka dikhawatirkan mereka akan menolak perkataan Tuhan dan para Nabi-Nya". Ibnu Rusyd yakin bahwa peran kitab-kitab suci, yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Tuhan, meliputi satu makna lahir dan beberapa makna batin. Tapi ia bukanlah orang pertama yang mengungkapkan hal-hal tersebut. Ibnu Rusyd dan juga semua orang yang percaya terhadap masalah itu, berkeyakinan atas keberadaan makna batin dimana apabila makna batin syariat dan ajaran agama disingkapkan kepada masyarakat awam akan mengakibatkan munculnya masalah dan persoalan psikologis dan sosiologi yang terburuk. Ibnu Rusyd berpandangan bahwa senantiasa terdapat kesatuan hakikat yang memiliki penafsiran-penafsiran yang beragam.
Dengan demikian, penisbahan suatu pandangan mengenai hakikat-hakikat yang saling bertolak belakang kepada Ibnu Rusyd adalah penisbahan yang tidak beralasan. Dalam aliran politik Latiny Ibnu Rusyd, penisbahan gagasan itu kepada Ibnu Rusyd sangat masyhur, tapi apabila diperhatikan bahwa perspektif hakikat batin syariat dan hakikat lahir syariat - yang juga digagas oleh Ibnu Rusyd - ditempatkan secara berjenjang dan bergradasi, maka mustahil terdapat dua hakikat atau beberapa hakikat yang saling bertentangan. Dengan perspektif ini, mustahil pandangan tentang hakikat-hakikat yang saling berlawanan itu kita nisbahkan kepada Ibnu Rusyd. Sebagaimana yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa keharmonisan dan kesesuaian antara agama dan filsafat senantiasa menjadi titik tekan para filosof Islam hingga zaman Ibnu Rusyd. Filosof-filosof pasca Ibnu Rusyd kurang lebih menjabarkan masalah tersebut dan mereka mempunyai pandangan yang sama mengenai keharmonisan hubungan antara agama dan filsafat.
Pada abad kesebelas hijriah, muncul seorang filosof bernama Sadruddin Syirazi yang secara gemilang mengkaji hakikat eksistensi dan melahirkan gagasan-gagasan filsafat yang baru dan cemerlang. Ia meneliti hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ahlulbait Nabi as dan berkesimpulan bahwa agama dan filsafat tidak bertentangan bahkan terdapat keharmonisan di antara keduanya. Persoalan ini senantiasa ia tekankan di dalam banyak karya-karyanya, dalam kitabnya bertema Syarh Ushul al-Kafi ia menafsirkan 34 hadits yang shahih berkenaan dengan akal dan keunggulan-keunggulannya. Muqaddasi, salah seorang ulama besar Sunni, memandang bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan akal adalah bohong dan palsu. Perlu diperhatikan bahwa Sadruddin Syirazi disamping ia adalah seorang filosof besar juga merupakan ahli hadits, maka dari itu, hadits-hadits yang ia anggap shahih juga dipandang shahih oleh para ahli hadits lainnya.
Allamah Thabathabai, seorang filosof kontemporer, termasuk filosof yang tidak membenarkan adanya pemisahan antara agama dan filsafat, ia memandang bahwa argumentasi rasional-filosofis terhadap masalah-masalah teologi adalah hal yang bersifat fitrah bagi manusia.
Dalam hal ini ia berkata, "Adalah salah satu bentuk kezaliman dan kesesatan apabila kita memisahkan antara ajaran suci agama-agama dan filsafat transenden. Apakah agama bukan kumpulan dari makrifat-makrifat Ilahi, akhlak, dan hukum-hukum? Apakah para Nabi dan Rasul tidak diperintahkan oleh Tuhan untuk mengajak, mendidik, dan mengantarkan manusia kepada hakikat kebahagiaan dan kesempurnaan hakiki? Apakah kebahagiaan dan kesempurnaan manusia tidak terletak pada pengajaran suci agama dan pemberian akal kepada manusia oleh Tuhan untuk menyingkap berbagai rahasia-rahasia alam, mencapai puncak kesempurnaan makrifat atas hakikat-hakikat eksistensi, dan menjalani kehidupan yang seimbang serta menjauhi segala bentuk penyikapan yang ekstrim atas dimensi-dimensi kehidupan di dunia? Apakah manusia dapat menggapai pemahaman makrifat dan ilmu tanpa menggunakan argumentasi rasional, dalil akal, dan kontemplasi yang mana merupakan substansi dan hakikat manusia? Bagaimana dapat dikatakan bahwa ajaran agama Ilahi mengajak manusia menentang fitrah dan hakikat wujudnya sendiri serta menyeru manusia untuk menerima segala perkara tanpa dalil akal dan argumentasi rasional? Secara mendasar tidak terdapat perbedaan antara metodologi para Nabi dalam mengajak manusia kepada kebenaran dan apa-apa yang dicapai dan diraih manusia lewat argumentasi yang benar dan logis. Perbedaan keduanya hanya terletak bahwa para Nabi dan Rasul as mendapatkan pertolongan dari Sebab Pertama dan meminum langsung

0 comments:

Posting Komentar