1.
Definisi
Mudharabah dalam bahasa Arab merupakan bentuk wazan
مفاعلة
dari kata ضرب, yang berarti [1] memukul dan [2] melakukan perjalanan.[1]
Dalam hal ini yang lebih digunakan adalah
melakukan perjalanan, dimana di masa Rasulullah SAW, mengadakan perjalanan itu
identik dengan melakukan perniagaan atau perdagangan.
Sedangkan dalam ilmu fiqih, mudharabah
didefinisikan sebagai
عَقْدُ شِرْكَةٍ فِي الرُّبْحِ بِمَالٍ مِنْ جَانِبٍ وَعَمَلٍ مِنْ جَانِبٍ
Yaitu: “akad persekutuan dalam keuntungan dengan modal
dari satu pihak dan kerja dari pihak lain”.
2. Masyru'iyah
Mudharabah adalah akad yang dibolehkan dalam
syariah Islam berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma' para Fuqaha.
2.1. Al-Quran Al-Kariem
وَآخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِي الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu
orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan
Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an (QS. Al Muzammil : 20)
2.2. As-Sunnah
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ :كَانَ العَبّاسُ بنِ عَبْدِ المطَّلِب
رَضي اللّه عنه إِذَا دَفَعَ مَالاً مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلىَ صَاحِبِهِ أَنْ
لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْراً وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِياً وَلاَ يَشْتَرِي بِهِ
ذَاتَ كَبِدٍ رَطبةٍ فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ فَرُفِعَ شَرْطَهُ إِلىَ
رَسُولِ اللّهِ ص فَأَجَازَهُ
Dari Ibnu Abbas RA bahwa Al-Abbas bin Abdil
Mutthalib RA bila menyerahkan harta secara mudharabah mensyaratkan kepada rekannya
untuk tidak membawa harta itu melewati laut, atau menuruni lembah dan tidak
membelanjakan hewan yang punya hati kering. Dia rekannya menyetujui syarat itu
maka dia menjaminnya. Maka diangkatlah syarat itu kepada Rasulullah SAW dan
beliau SAW membolehkannya (HR. Al-Baihaqi)
2.3. Ijma'
Kebolehan akad mudharabah ini dikuatkan dengan ijma', dimana
diriwayatkan bahwa banyak diantara para shahabat Nabi SAW menyerahkan harta
anak yatim dalam bentuk mudharabah.
Di antara mereka adalah Umar bin Al-Khattab, Utsman
bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar,
Ubaidillah bin Umar, serta Aisyah Ridhwanullahi Alaihim. Dan tidak ada
satu pun riwayat yang mengingkari adanya hal itu.
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad
kerja sama semacam itu hingga zaman ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada
ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena
cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman
jahiliyah hingga zaman Nabi SAW.
3. Hikmah Disyariatkan Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama mudharabah
untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu
mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki
kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya.
Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar
mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shahibulmal (investor)
memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola), dimana dia memanfaatkan harta dan
dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak
mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak
kerusakan.
5. Jenis Mudharabah
Para ulama membagi Mudharabah menjadi dua
jenis:
5.1. Muthlaqah
Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana
pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa
pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola
bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal)
melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
5.2. Muqayyadah (terbatas)
Pengertiannya pemilik modal (investor)
menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau
waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan mudharib.
Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama
keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan
tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan
dilakukan dengan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak sehingga wajib
ditunaikan.
Perbedaan antara keduanya terletak pada
pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.
6. Rukun Mudharabah
Mudharabah memiliki tiga rukun: [1] Pelaku,
baik investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib), [2] Objek transaksi
kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan. [3] Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al
Minhaaj menjelaskan bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha,
keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi.[2]
Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga
rukun diatas.
6.1. Pelaku
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik
modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki
kompetensi beraktifitas (jaizut-tasharruf) dalam pengertian mereka
berdua baligh, berakal, rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya.
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya
harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan
melakukan perbuatan riba atau perkara haram.
Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal
tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat
dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas
pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan
haram.[3]
6.2. Objek Transaksi
Objek transaksi dalam mudharabah mencakup
modal, jenis usaha dan keuntungan.
6.2.1. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal
yang harus dipenuhi:
a. Modal
harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’21 atau
barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
b. Modal
yang diserahkan harus jelas diketahui
c. Modal
yang diserahkan harus tertentu
d. Modal
diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan
dapat beraktivitas dengannya.
Jadi dalam mudharabah disyaratkan modal yang
diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib
(pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata
uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan
nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga
nilai barang tersebut yang menjadi modal mudharabah.
Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota
kijang lalu diserahkan kepada mudharib (pengelola modal), maka ketika akad
kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan
mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modmudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat
karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang
dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah
harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi
ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan.
6.2.2. Jenis Usaha
Jenis usaha disini disyaratkan beberapa syarat:
a. Jenis
usaha tersebut di bidang perniagaan
b. Tidak
menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan
jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah
delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. 25
Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di
bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang
syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan
barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.26
6.2.3. Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan
penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah.27 dengan dasar dikiyaskan
(dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai
kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.28
6.2.4. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan
keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam mudharabah disyaratkan pada
keuntungan tersebut empat syarat:
a. Keuntungan
khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan
pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga,
misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan
untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah
kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga
menjadi qiraadh bersama dua orang.29 Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan
untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’,
maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.30
b. Pembagian
keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya
dikatakan: ‘Saya bekerja sama mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya
untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.31
c. Keuntungan
harus diketahui secara jelas.
d. Dalam
transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor)
dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata
seperti setengah, sepertiga atau seperempat.32 Apa bila ditentuan nilainya,
contohnya dikatakan kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan
untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga
bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya
untukku.
6.3. Pelafalan Perjanjian
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua
belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah
ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi mudharabah atau syarikat dianggap sah
dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.41
7. Syarat Dalam Mudharabah42
Pengertian syarat dalam Mudharabah adalah
syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama
berkaitan dengan mudharabah. Syarat dalam Mudharabah ini ada dua:
7. 1. Syarat Sah
Syarat yang ini menyelisihi tuntutan akad dan
tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut.
Contohnya pemilik modal mensyaratkan kepada
pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya
keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis
tertentu yang gampang didapatkan.
Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut
kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak
menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
7. 2. Syarat fasad (tidak benar).
Syarat ini terbagi tiga:
7.2.1. Syarat meniadakan tuntutan konsekuensi
akad
Seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau
tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau
dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi
tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
7.2.2. Syarat yang bukan dari kemaslahatan
Juga bukan tuntutan akad, seperti mensyaratkan
kepada pengelola untuk memberikan mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
7.2.3. Syarat yang berakibat tidak jelasnya
keuntungan
Misalnya mensyaratkan kepada pengelola bagian
keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha
yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk
pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan.
Syarat ini disepakati kerusakannya karena
mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah
tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.
8. Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah bisa berakhir dengan pembatalan dari
salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam
transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi
kapan saja dia menghendaki.
Transaksi mudharabah ini juga bisa berakhir
dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau
ediot.
Imam Ibnu Qudamah menyatakan: “Mudharabah
termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah
seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau
dibatasi karena ediot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain
dengan sezinnya, maka ia seperti wakiel dan tidak ada bedanya antara sebelum
beraktivitas dan sesudahnya.
Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh
boleh, karena ia di awalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat.
Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh
memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya.
Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha tersebut”.
Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan penilik modal
ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola
ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar darinya”.[4]
Apabila telah dihentikan dan harta (modal)
utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik
modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut
sesuai dengan kesepakatan.
Apabila berhenti dan harta berbentuk barang,
lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak
milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik
modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik
modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak
tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka
pemilik modal tidak dipaksa.[5]
[2] Lihat Takmilah AL Majmu’ Syarhu Al Muhadzab imam
nawawi oleh Muhammad Najieb Al Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu’
Syatrhul Muhadzab
[3] Lihat kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya
prof. DR Abdullah Al Mushlih dan prof. DR. Shalah Al Showi
[4] Majmu’ Syarhu Almuhadzab jilid 15 halaman 191
[5] Al Mughni jilid 7 halaman 172
0 comments:
Posting Komentar