Telah masyhur di kalangan sejarawan, ulama, dan tokoh lainnya bahwa Islam tersebar luas di Indonesia atas jasa Walisongo dan murid-muridnya. Sebelumnya, usaha dakwah telah dilakukan orang, tapi lingkupnya sangat terbatas.
Harian Duta Masyarakat mengungkap, sebenarnya Islam masuk
Nusantara sejak zaman Rasulullah. Yakni berdasarkan literatur kuno Tiongkok,
sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir
Sumatera (Barus). Kemudian Marcopolo menyebutkan, saat persinggahannya di Pasai
tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab menyebarkan Islam. Begitu pula Ibnu
Bathuthah, pengembara muslim, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M
menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafii. Tapi baru abad 9 H (abad
15 M) penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Masa itu adalah masa dakwah
Walisongo.[1]
Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk
Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan karena pada saat
itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan polotik yang berarti. Yaitu, ditandai
dengan baerdirinya beberapa kerajaan yang bercorak islam, seperti kerajaan Aceh
Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, Serta Ternate. Para pengusa
kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra-islam
dan para pendatang Arab. Pesatnya islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara
lian juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan
Hindu atau Budha di Nusantara, seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.
Thomas Arnold dalam the preaching of islam mengatakan bahwa,
kedatangan islam bukanlah seperti penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan
Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang,
tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara
yang benar-benar menunjukan sebagai rahmatan lil ‘alamin.[2]
Dalam literatur yang beredar dan menjadi arus besar sejarah,
masuknya Islam ke Indonesia selalu diidentikkan dengan penyebaran Agama oleh
orang Arab, Persia, ataupun Gujarat. Namun pada penemuan lain memberikan suatu
warna lain, yaitu bahwa islam di nusantara tidak hanya berasal dari wilayah
India dan Timur Tengah, akan tetapi juga dari Cina, tepatnya Yunan. Di paparkan
bermula dalam pergaulan dagang antara muslim Yunan dengan penduduk nusantara.
Pada kesempatan itu terjadilah asimilasi budaya lokal dan agama islam yang
salah satunya berasal dari darata Cina. Diawali saat armada Tiongkok Dinasti
Ming yang pertama kali masuk Nusantara malalui Palembang tahun 1407. Saat itu
mereka mengusir perompak-perompak dari Hokkian Cina yang telah lama bersarang
di sana. Kemudian Laksamana Cheng Ho membentuk Kerejaan Islam di Palembang.
Sementara itu penyebaran agama islam terutama di pulau jawa banyak
ditemukan literatur bahwa pada masa awal, da’i adalah penyebara agama islam
banyak dipegang peranannya oleh para “wali sembilan” yang lebih dikenal dengan
“walisongo” .
Dalam menerapkan sasaran mad’unya para walisongo terlebih
mendahulukan melakukan perencanaan dan perhitungan yang akurat diimbangi dengan
pertimbangan yang rasionaldan strategis yakni dengan mempertimbangkan faktor geostrategis
yang disesuiakan dengan kondisi mad’u yang dihadapinya. Sehingga hasil yang
dicapainya pun akan maksimal.
Dalam melaksanakan misinya terjadi pembagian kerja yang sangat
sinergis walaupun mereka tidak hidup dalam satu zaman. Hal ini dapat di lihat
dari pembagian kerja dengan mengambil resening formasi 5 ; 3 ; 1, yakni lima di
Jawa Timur, tiga di Jawa Tengah, dan satu di Jawa Barat. Pertimbangan orientasi
kegiatan dakwah diarahkan pada pusat-pusat kekuasaan politik.
Disamping daerah perdagangan, Jawa Timur mendapat perhatian besar
dari para wali, dengan ditempatkannya lima wali dengan wilayah dakwah yang
berbeda-beda, karena Jawa Timur pada saat itu merupakan pusat kekuasaan
politik, yakni kerejaan Kediri, dan Majapahit.
Di Jawa Tengah para wali lebih terlihat sebagai penyebar agama
islam yang berprofesi sebagai pedagang. Penempatan ketiga wali di Jawa Tengah
juga sekaligus berfungsi sebagai pusat pelayanan penyebaran agama islam di indonesia Tengah, karena pada
saat itu pusat kegiatan politik dan ekonomi beralih kedaerah tersebut, dengan
runtuhnya kerajaan Majapahit dan munculnya Kesultanan Demak.
Sedangkan di Jawa Barat proses penyebaran isalm hanya dilakukan
oleh seorang wali karena penyebaran agama islam di Indonesia Barat sudah lebih
baik, terutama di Sumatera dapat dikatakan merata bila dibandingkan dengan
kondisi di Indonesia Timur.
Walisongo adalah penyebar agama Islam di jawa. Para ulama itu
berhasil menanamkan Islam dalam ranah tauhid, akhlak, sosial, budaya dan
politik. Puncak karya gemilang meraka adalah
berdirinya kesultanan Giri, Demak, dan Cirebon, sekaligus membuktikan
bahwa mereka bukanlah sufi semata yang
menafikan penegakan syariat Islam.[3]
Di paruh awal abad ke 16, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk
merasa tentram dan damai dalam ayoman Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan
Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah atau Raden Patah. Hidup meraka menemukan
pedoman dan tujuan sejatinya, setelah mengakhiri masa Syiwa-Budha serta animisme.
Mereka pun memiliki kepastian hidup, bukan karena wibawa dan perbawa Sang
Sultan. Kepastian hidup ada karena disangga daulat hukum. Dan kepastian daulat
hukum Kesultanan Demak Bintoro kala itu, berpijak pada syariah islam.[4]
Sedangkan metode yang dikembangkan oleh para wali dalam gerakan
dakwahnya adalah lebih banyak melalui media kesenian budaya setempat disamping
melalui jalur sosial-ekonomi. Atau lebih tepatnya pengislaman kultural atau
mengkulturkan islam. Sebagai contoh adalah melalui media kesenian wayang dan
tembang-temgbang jawa yang di modifikasi dan disesuaikan oleh para wali dalam
kontek dakwah. Dan sebagai gambaran spesifiknya dakwah yang dikembangkan oleh
masing-masing para wali sembilan tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:
1.
Sunnan Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy
diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Maulana
Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Ia bersaudara dengan
Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri
(Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama
Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro
diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa
orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih
berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah
Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang
dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga
murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk
mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang
untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan
permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Maulana Malik Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka
sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar
yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai
membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik,
Jawa Timur.
Pola dakwah islam yang berhasil beliau kembangakan adalah sebagai
berikut:
a.
Bergaul dengan para remaja. Dengan bergaul dan berinteraksi dengan
para remaja inilah maulana mulik ibrahim akan lebih mudah dalam menyebarkan
dakwahnya. Karena dengan begitu dapat mengerti karakter dari mad’u sehingga
dapat menentukan metode yang tepat dalam menyampaikan ajarannya islamnya.
b.
Membuka pendidikan pesantren. Anak-anak yang ingin belajar ilmu
agama ditampung dalam sebuah pesantren. Mereka diperkenalkan secara langsung
cara melaksanakan ajaran agama islam. Dan dari sinilah kemudian muncul para
kader-kader da’i yang profesional yang pada gilirannya berperan sebagai guru
dalam masyarakatnya. Dan diantara mereka kemudian ada yang mendirikan
pondok-pondok pesantren sebagai sarana mengamalkan dan mengabdikan ilmunya pada
masyarakat. Dari pesantren yang telah didirikan selanjutnya lahir para da’i
yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam memperjuangkan dakwah islam selanjutnya.
2.
Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik
Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia
dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama
Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah
Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota
Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa
Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho,
sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang.
Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari
perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang
menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Ampel adalah daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit kepada sunan
Ampel, ia membangun pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat
sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra
pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di
antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut
kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya
Beberapa pola dakwah yang dikembangkan oleh sunan Ampel adalah:
a.
Menyerukan dan melanjutkan perjuangan yang telah dilakukan wali
sebelumnya, yaitu Maulana Malik Ibrahim. Yaitu, dengan mengadakan pendidikan
bagi masyarakat, khususnya para kader bangsa dan para mubaligh.
b.
Menyiapkan dan melatih generasi-generasi islam yang dapat
diandalkan. Untuk itu dipilih pwmuda-pemuda yang cerdas dan tangkas yang
kemudian disiapkan sebagai kader da’i inti, seperti sunan Giri, Raden Fatah,
Maulana Ishak, dan lain sebagainya.
c.
Membangun hubungan silaturahim dan persaudaraan dengan putra-putra
pertiwi (pribumi) yaitu dengan menikah dengan putri daerah setempat.
d.
Mempelopori pendirian mesjid Agung Demak. Mesjid tersebutlah yang
kemudian dirancang sebagai sentral seluruh aktivitas pemerintahan dan sosial
masyarakat.
e.
Melebarkan wilayah dakwahnya, yaitu dengan mengutus para santrinya
untuk berdakwah ke wilayah-wilayah lain.
3.
Sunan Giri
Nama lain dair sunan giri adalah joko samudra, raden paku, prabu
samatra. Selain nama tersebut beliau juga memiliki gelar, yaitu sultan abdul
faqih karenasangat yakin dan mendalam ilmu fikihnya. Beliau adalah putra dari
maulana malik ibrahim.
Sunan giri adalah seorang da’i dan sekaligus ulama ulung yang
dibekali pengetahuan agama yang cukup memadai. Dalam syiar dakwah yang pertama
kali dilakukannya adalah dengan mendirikan masjid. Dan kemudian beliau
mendirikan beberapa pondok pesantren dan mengajarkan ilmu-ilmu agama, seperti
fiwih, ilmu hadits, secara nahu dan saraf kepada anak didiknya.
Namun secara keseluruhan pola dakwah yang dilakukan dan
dikembangkan sunan giri adalah:
a.
Membina kader da’i inti, yaitu mereka yang dididik di perguruan
Giri.
b.
Mengembangkan islam keluar jawa. Pola dakwah yang dikembangkannya
dan tidak di lakukan wali-wali sebelumnya adalah usahanya mengirim anak
muridnya kepelosok-pelosok indonesia untuk menyiarkan islam.
c.
Menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat secara luas.
4.
Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan
Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan
Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di
Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan kudus terkenala sebagai ulama besar yang menguasai ilmu
hadist; ilmu tafsir al-qur’an, ilmu sastra, mantik, dan terutama sekali adalah
ilmu fiqih, dengan ketinggian ilmunya itulah, maka beliau di juluki Waliyul
Ilmi yang artinya wali yag menjadi gudang ilmu.[5]
Cara berdakwahnya sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus.[6]
Di samping itu, beliau juga merupakan seorang pujangga besar dengan daya
kreativitasnya berinisiatif mengarang dongeng-dongeng pondok yang bersifat dan berjiwa seni islam.
Pola dakwah yang dikembangkannya banyak bercorak pada bidang
kesenian. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Gending Maskumambang dan
Mijil. Dalam menarik simpati masa, beliau meleburkan diri dengan budaya
setempat, sehingga lebih menarik dan merakyat.
5.
Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel,[7]
yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum
Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng
Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Di masa hidupnya sunana bonang adalah termasuk penyokong dari
kerajaan demak dan ikut pula membantu pendirian Mesjid Agung di Bintaro Demak.
Pola dakwah yang dikembangkannya adalah:
a.
Pemberdaya dan peningkatan jumlah dan mutu kader da’i
b.
Memasukan pengaruh islam dikalangan bangsawan keraton Majapahit.
c.
Terjun langsung ketengah-tengah masyarakat.
d.
Melakukan kodifikasi atau pembukuan dakwah. Kodifikasi pesan dakwah
atau ajarannya dilakukan oleh murid-muridnya. Kitab itu ada yang berbentuk
puisi maupun prosa. Kitab inilah yang kemudian dikenal dengan Suluk Sunan
Bonang.
6.
Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia
bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden
Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk
berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun
berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan
padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara
ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian,
cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.
Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah
“berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang
telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong.
Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir
miskin.
Pola dakwah yang telah dikembangkan olehnya adalah:
a. Menanamkan
ajaran untuk saling gotong royong dimana yang kuat menolong yang lemah dan yang
kaya menolong yang miskin.
b. Mendirikan
pos-pos bantuan yang diatur sedemikian rupa, sehingga memudahkan dalam
pengaturan dan penyaluran bantuan kepada yang membutuhkan.
c.
Di bidang kesenian beliau menciptakan tembang-tembang jawa, yaitu Pangkur.
7.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai
Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya
adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani
Hasyim dari Palestina.
Selain sebagai seorang da’i dia juga di kenal sebagai pahlawan yang
gigih melawan penjajahan. Dalam mempertahankan daerh toritorialnya adalah
dengan mengintegrasikan dari ancama penjajah. Beliau berhasil mamatahkan
kekuasaan portugis pada tanggal 222 juni 1527, yang kemudian mengganti Sunda
Kelapa dengan Jayakarta.
Pola dakwah yang dikembangkan Sunan Gunung Jati lebih berfokus pada
job deskription atau pembagian tugas di antaranya adalah dengan
melakukan:
a.
Melakukan pembinaan intren kesultanan dan rakyat yang masuk dalam
wilayah Demak wali senior.
b.
Melakukan pembinaan terhadap luar daerah dengan menyerahkan
tanggung jawabnya kepada para pemuda.
8.
Sunan Kalijaga
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa.
Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati
Tuban[8]
-keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya
Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki
sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau
Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga
yang disandangnya.
Pola dakwah yang dikembangkannya adalah:
a.
Mendirikan pusat pendidikan di Kadilangu
b.
Berdakwah lewat kesenian.
c.
Memasukan hikayat-hikayat islam kedalam permainan wayang.
9.
Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh
Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama
Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18
kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga.
Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat
terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam
konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi
yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi
pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah
satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Pola dakwah yang telah
dikembangkannya adalah:
a.
Menjadikan daerah-daerah pelosok pegunungan menjadi pusat kegiatan
dakwah
b.
Berdakwah melalui jalur kesenian. Dengan menciptakan Gending Simon,
Kinanti, dan sebagainya.
KESIMPULAN
Telah masyhur
di kalangan sejarawan, ulama, dan tokoh lainnya bahwa Islam tersebar luas di
Indonesia atas jasa Walisongo dan murid-muridnya. Sebelumnya, usaha dakwah
telah dilakukan orang, tapi lingkupnya sangat terbatas.
Walisongo
adalah penyebar agama Islam di jawa. Para ulama itu berhasil menanamkan Islam
dalam ranah tauhid, akhlak, sosial, budaya dan politik. Puncak karya gemilang
meraka adalah berdirinya kesultanan
Giri, Demak, dan Cirebon, sekaligus membuktikan bahwa mereka bukanlah sufi semata yang menafikan penegakan syariat Islam
Dalam
melaksanakan misinya terjadi pembagian kerja yang sangat sinergis walaupun
mereka tidak hidup dalam satu zaman. Hal ini dapat di lihat dari pembagian
kerja dengan mengambil resening formasi 5 ; 3 ; 1, yakni lima di Jawa Timur,
tiga di Jawa Tengah, dan satu di Jawa Barat. Pertimbangan orientasi kegiatan
dakwah diarahkan pada pusat-pusat kekuasaan politik.
Secara garis besar pola dakwah yang dilakukan para wali diarahkan pada
bidang politik, pada kebudayaan masyarakat setempat, dan juga pada bidang
pendidikan seperti yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim dan wali yang lainnya.
Berbagai
literatur menyebutkan bahwa, pola dakwah yang dilakukan para wali memberikan
pengaruh yang sangat besar, terutama pada bidang kebudayaan masyarakat setempat,
dan pada bidang pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Galeri
swaramuslim pakdenono.com juni 2007
Harian
Duta Masyarakat, (28-30 Maret 2007)
Hasyim,
Umar, 1960, Sunan Kalijaga, Semarang: Menara Kudus
ilaihi,
Wahyu, 2007. sejarah pengantar dakwah, Jakarta: Kencana.
Syamsu,
Muhammad as, 1999, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya,
Jakarta:
Lentera
Salam,
Salihin, 1982, Sekitar Walisanga,
Kudus: Menara Kudus
[2] Wahyu ilaihi, sejarah pengantar dakwah,jakarta: kencana. 2007. Hal 171
[3] Galeri swaramuslim pakdenono.com juni 2007
[4] ibid
[5] Muhammad syamsu as.Ulama pembawa islam di indonesia dan sekitarnya,(jakarta:
lentera, 1999), hal. 55
[7] Salihin salam, sekitar walisanga, (Kudus: menara kudus, 1982) hal. 47
[8] Lihat Umar Hasyim, sunan Kalijaga, (Semarang: Menara Kudus,
1960)
0 comments:
Posting Komentar