SEJARAH PERADABAN ISLAM DAULAH ABBASIAH
(KEMUNDURANNYA)
Sejak abad ke-7 masehi bangsa arab dengan cepat sekali menguasai satu persatu wilayah kemajuan dunia saat itu sampai mereka pernah menjadi penguasa yang sangat kuat dimana peta kekuatan islam melebar sampai Asia, Afrika, dan Eropa Barat daya. Kecepatan arus ekspansi tersebut dengan kemunduran islam (11 M) lebih cepat daripada fase ekspansi. Ibn Khaldun membatasi keberadaan sebuah dinasti yang bertahan sampai sekitar 100 tahun.[1] Dinasti Abbasiah pun tidak luput dari aturan itu. Walaupun Dinasti Abbasiah berkuasa selama lima abad (750-1258 M), kemegahan dinasti ini dalam waktu yang relave tidak panjang dan bahkan sempat menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tertinggi ketika itu, ternyata akhirnya kejayaan itu mencapai kulminasi, pasca kekuasaan khalifah Wasiq (842-847 M).[2]

Adapun faktor-faktor penyebab kehancuran Abbasiyah, diantaranya sebagai berikut: Masa disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:[3]

1.    Perebutan Kekuasaan dipusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Adalah Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami, sehingga khalifah berikutnya menjadi boneka mereka.[4] Mu’tasim membangun kelompok tentara elit dari turki secara terpisah dengan tentara abbasiah. Akhirnya, mereka begitu berpengaruhdikalangan istana maupun rakyat, maka keperluan khalifah pun tergantung mau atau tidaknya mereka. Tentara bayaran turki akhirnya saat khalifah lemah, merekalah yang pegang kendali kekhalifahan, bahkan untuk mengangkat dan memecat khalifah pun merekalah yang paling menentukan.[5]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[6]
2.    Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri

wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kentaannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[7]
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi. Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.[8]
Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dengan dua cara, pertama, seorang peminpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko. Kedua, seorang yang ditunjk menjadi gubernur oleh Khalifah yang kedudukannya semakin kuat, seerti daulah Aghlabiyah di Tunisiyah dan Thahiriyyah di Khurasan.
Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-   290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
2.Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
3.Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
4.Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
5.Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[9]


3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis yang menyebabkan lemahnya sendi-sendi kekhalifahan Abbasiah.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah,[10] rakyat justru makin lemah dan miskin.
Menurutnya kekuatan manusia disebabkan oleh pertikaian berdarah yang sering terjadi mengakibatkan llahan pertanian menjadi tandus dan terbengkalai. Banjir di dataran rendah Mesopotami, dan bencana alam lain, kadang-kadang muncul kelaparan dan wabah penyakit yang sangat membahayakan, menelan korban, lebih dari 40 macam wabah penyakit yang tercatat dalam sejarah Arab 4 abad pertama pasca penaklukan.[11]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.















[1] M Abdul Karim, Sejarah peradaban dan Pemikiran Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publishar, 2007. Hlm.161
[2] Ibid.hal.161
[3] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000. hlm.80
[4] Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2007. hlm. 102-104
[5] M Abdul Karim, Sejarah peradaban dan Pemikiran Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publishar, 2007. Hlm.163
[6] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000. hlm.50
[7] Ibid. hal. 3
[8]Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar. Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2007.  hlm. 137
[9] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000. hlm.65-66, lihat juga Ahmad Al Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media, 2010.hal. 261 dan 270
[10]Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000. hlm.82
[11] M Abdul Karim, Sejarah peradaban dan Pemikiran Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publishar, 2007. Hlm.165

0 comments:

Posting Komentar